Peninggalan Sejarah Provinsi Aceh

Aceh (/ˈɑːtʃeɪ/; [ʔaˈtɕɛh]) adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959), kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh Darussalam (2001–2009), dan terakhir Aceh (2009–sekarang). Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.


Berikut ini beberapa Peninggalan Sejarah yang masih ada di Provinsi Aceh


Benteng Indra Patra di Kecamatan Peukan Bada [sumber]

Benteng Indra Patra
Sebagaimana daerah lain di kepulauan Nusantara, Aceh juga pernah mengalami masa berkembangnya agama Hindu dan Budha yang datang dari daratan benua Asia. Pada masa itu di Aceh telah diwarnai dengan adanya beberapa kerajaan kecil yang berdasarkan agama tersebut misalnya Indrapuri, Indra Patra dan Indra Purwa semuanya di Aceh Besar.

Indrapatra terletak di kecamatan Mesjid Raya, Jalan Krueng Raya, sekitar 19 km dari pusat kota Banda Aceh menuju pelabuhan Krueng Raya. Di situ terdapat sebuah benteng yang biasa disebut sebagai Benteng Indrapatra. Menurut catatan sejarah, benteng ini dibangun pada abad ke-7 Masehi semasa pemerintahan Kerajaan Lamuri.

Benteng ini sendiri berada pada posisi yang cukup strategies karena berhadapan langsung dengan selat Malaka sehingga berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan penjajah Portugis.

Ketika Islam kemudian masuk ke Aceh, benteng ini masih menjadi tempat pertahanan dari serangan Portugis. Konon, Laksamana Malahayati pernah menggunakan benteng Indrapatra untuk melawan Portugis.

Bisa dibilang, benteng Indrapatra merupakan saksi bisu perjalanan sejarah dari masa ke masa; dari masa kejayaan Hindu hingga berjayanya kerajaan Islam di Aceh. Dan benteng ini masih berdiri kokoh hingga hari ini, meskipun pada beberapa bagian kondisinya terlihat memprihatinkan.


Taman Putroe Phang

Gunongan Putroë Phang
Gunongan Putroë Phang
Taman Putroe Phang (Taman Putri Pahang) adalah taman yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) untuk permaisurinya Putroe Phang yang berasal dari Kerajaan Pahang. Taman ini dibangun karena sultan sangat mencintai Putri Pahang dan agar sang permaisuri tidak kesepian bila di tinggal sultan menjalankan pemerintahan.

Pembangunan taman dikisahkan merupakan permintaan dari Putroe Phang, putri raja yang dibawa ke Aceh oleh Sultan Iskandar Muda setelah kerajaan Pahang ditaklukan.

Di dalam taman ini terdapat Pinto Khop yaitu gerbang kecil berbentuk kubah yang merupakan pintu yang menghubungkan taman dengan istana. Pinto Khop ini merupakan tempat beristirahat Putri Phang, setelah lelah berenang, letaknya tidak jauh dari Gunongan, di sanalah dayang-dayang membasuh rambut sang permaisuri. Di sana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri keramas dan mandi bunga. [sumber]

Taman Sari Gunongan ini terbuka untuk umum, yang dibuka dari jam 7.00-18.00 WIB. Di Pinto Khop, yang berada tidak jauh dari Gunongan, terdapat taman bermain anak-anak sehingga tempat ini ramai dikunjungi terutama pada sore hari atau hari-hari libur. Di Taman Sari ini terdapat pula kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang mengelola bangunan, situs bersejarah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra.

Gunongan dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636. [sumber]


Kerkoff Peucut [sumber]

Kerkoff Peucut
Kerkoff Peucut
Kerkoff Peucut adalah kuburan prajurit Belanda yang tewas dalam Perang Aceh yang sekarang menjadi objek wisata menarik, khususnya bagi wisatawan mancanegara (terutama wisatawan asal Belanda).

Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban di kedua belah pihak.

Bukti sejarah ini dapat ditemukan di pekuburan Belanda Kerkhoff ini. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda, dan termasuk di antaranya serdadu Jawa, Batak, Ambon, Madura dan beberapa serdadu suku lainnya yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Hindia Belanda. yang kuburannya masih dirawat dengan baik. Hingga saat ini Pemerintah Kerajaan Belanda sangat haru dan menghormati warga Banda Aceh yang merawat dengan rapi kuburan tersebut. Mereka tidak habis pikir bahwa bangsa yang dijajah mau merawat makam para penjajahnya.

Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak di luar negeri Balanda yang terluas di dunia. Dalam sejarah Belanda, Perang Aceh merupakan perang paling pahit yang melebihi pahitnya pengalaman mereka pada saat Perang Napoleon.

Sebaliknya tidak terhitung banyaknya rakyat Aceh yang tewas dalam mempertahankan setiap jengkal tanah airnya yang tidak diketahui di mana kuburnya.

Tokoh militer Belanda yang dimakamkan di Kerkoff Peucut: Johan Harmen Rudolf Köhler, Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel, W.B.J.A. Scheepens.


Lonceng Cakra Donya [Wikipedia] 

Lonceng Cakra Donya
Cakra Donya adalah lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina 1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan Donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Sedangkan aksara Arab tidak dapat dibaca lagi.

Lonceng ini sangat terkenal di daerah Aceh. Sejarah mencatat bahwa lonceng cakradonya merupakan pemberian dari Laksamana Cheng Ho, seorang pemimpin armada laut Tiongkok yang diutus oleh Kaisar Cina kepada Kesultanan Samudera Pasai pada tahun 1405. Pemberian lonceng ini dalam rangka mengikat hubungan persahabatan dan kerjasama antara dua kerajaan di negara yang berbeda.

Pada sekitar tahun 1524 M Kesultanan Pasai ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh Darussalam dan lonceng tersebut akhirnya diangkut ke Banda Aceh. Nama Cakradonya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakradonya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada bagian atas lonceng ini terdapat tulisan aksara Tionghoa dan Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia. Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini diletakkan di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan. Namun kini Lonceng Cakradonya telah dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam sebuah kubah di halaman museum tersebut sejak tahun 1915. Hingga kini Lonceng raksasa ini menjadi simbol atau icon khusus Kota Aceh.


Makam Sultan Iskandar Muda

Makam Sultan Iskandar Muda
Makam Sultan Iskandar Muda
Makam Sultan Iskandar Muda adlah sebuah makam dari tokoh penting dalam sejarah kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda. Beliau merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.

Kerajaan Aceh pernah mengalami masa kejayaan, kala Sultan memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam di masa abad ke 17 yaitu pada tahun 1607-1636. Pada masa pemerintahan Beliau, kerajaan Islam Aceh menduduki peringkat kelima kerajaan Islam terbesar di dunia.

Alamat Makam Sultan Iskandar Muda terletak di Peuniti, Baiturrahman, Kota Banda Aceh 23116, Provinsi Aceh.


Mesjid Raya Baiturrahman [sumber]

Mesjid Raya Baiturrahman
Mesjid Raya Baiturrahman
Alamat: Masjid Raya, Kp. Baru, Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh
Tinggi: 35 m
Provinsi: Aceh
Letak: Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Kubah: 7
Menara: 5

Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid Kesultanan Aceh yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam pada tahun 1022 H/1612 M. Bangunan indah dan megah yang mirip dengan Taj Mahal di India ini terletak tepat di jantung Kota Banda Aceh dan menjadi titik pusat dari segala kegiatan di Aceh Darussalam.

Sewaktu Kerajaan Belanda menyerang Kesultanan Aceh pada agresi tentara Belanda kedua pada Bulan Shafar 1290 Hijriah/10 April 1873 Masehi, Masjid Raya Baiturrahman dibakar. Kemudian, pada tahun 1877 Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman untuk menarik perhatian serta meredam kemarahan Bangsa Aceh. Pada saat itu Kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat yang merupakan Sultan Aceh yang terakhir.

Sebagai tempat bersejarah yang memiliki nilai seni tinggi, Masjid Raya Baiturrahman menjadi objek wisata religi yang mampu membuat setiap wisatawan yang datang berdecak kagum akan sejarah dan keindahan arsitekturnya, di mana Masjid Raya Baiturrahman termasuk salah satu Masjid terindah di Indonesia yang memiliki arsitektur yang memukau, ukiran yang menarik, halaman yang luas dengan kolam pancuran air bergaya Kesultanan Turki Utsmani dan akan sangat terasa sejuk apabila berada di dalam Masjid ini.

Saat bencana tsunami meluluh lantakan Tanah Rencong Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 lalu, Masjid Raya Baiturrahman masih tetap berdiri dengan megahnya, ombak tsunami yang mulai membasahi Bumi Aceh sungguh tak mampu menghancurkan rumah Allah ini. Pada saat itu Masjid Raya Baiturrahman menjadi tempat bagi rakyat Aceh berlindung juga sebagai tempat evakuasi jenazah para korban tsunami yang bergelimpangan.

Setelah melewati berbagai peristiwa-peristiwa bersejarah, sampai saat ini Masjid Raya Baiturrahman masih tetap berdiri kukuh sebagai simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme Suku Aceh.


Monumen Kerajaan Islam Peureulak

Monumen Kerajaan Islam Peureulak  adalah peninggalan Kerajaan Islam Peureulak, terletak Desa Paya Meuligau, kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur. Di kawasan ini dahulu  tempat berdirinya Kerajaan Islam Peureulak yang pertama di Asia Tenggara pada abad ke-9 Masehi berada, Monumen ini dibangun sebagai simbol tempat Kerajaan Islam Peureulak yang pertama di Asia Tenggara yang didirikan pada tahun 840-864 M dengan Raja Pertama Sultan Alaidin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah. Di lokasi ini juga terdapat makam Beliau dan Isterinya.


Pesawat Seulawah Agam

Pesawat Seulawah
Pesawat Seulawah
Dakota RI-001 Seulawah adalah pesawat angkut yang merupakan pesawat ke-2 milik Republik Indonesia. Pesawat jenis Dakota dengan nomor sayap RI-001 yang diberi nama Seulawah ini dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh. Pesawat Dakota RI-001 Seulawah ini adalah cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways. Pesawat ini sangat besar jasanya dalam perjuangan awal pembentukan negara Indonesia.

Pesawat Dakota DC-3 Seulawah ini memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 meter, ditenagai dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg serta mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam.

Pesawat Seulawah Aceh ini sekarang menjadi monumen di Blang Padang Banda Aceh untuk menjadi saksi pengorbanan masyarakat Aceh untuk Indonesia.


Rumoh Aceh

Rumoh Aceh
Rumoh Aceh
Rumah adat Aceh (bahasa Aceh: Rumoh Aceh) adalah rumah adat dari suku Aceh. Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka keluarga.

Rumoh Aceh adalah rumah adat Aceh yang difungsikan sekarang sebagai museum yang menyimpan ribuan peninggalan sejarah Aceh mulai dari peninggalan sejarah pra modern hingga peninggalan sejarah masa penjajahan selain itu di rumoh Aceh ini juga disimpan berbagai macam kebudayaan Aceh yang berupa kerajinan tangan dan budaya Aceh lainnya.

Rumoh Aceh telah menjadi topik pembahasan di kalangan para arsitek dan juga tim rekontruksi pembangunan pasca Tsunami 26 Desember 2004 silam. Pasca gempa dan stunami di Aceh pernah dipaparkan tentang rumah tahan gempa. Dan mereka mengatakan bahwa struktur bangunan rumah tahan gempa adalah rumah adat Aceh (rumoh Aceh). Kearifan lokal dari nenek moyang kita sudah merancang bangunan yang peduli pada kondisi alam sekitarnya dengan membuat rumah yang tahan gempa.

Berbagai sumber