Beranda · Alat Musik · Budaya · Lambang · Wisata Sejarah

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Ibu kotanya adalah Semarang. Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 29 kabupaten dan 6 kota. Administrasi pemerintahan kabupaten dan kota ini terdiri atas 545 kecamatan dan 8.490 desa/kelurahan.

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Daftar Isi Bangunan peninggalan Bersejarah Propinsi jawa tengah:

1. Benteng Vastenburg

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Benteng Vastenburg adalah benteng peninggalan Belanda yang terletak di kawasan Gladak, Surakarta. Benteng ini dibangun tahun 1745 atas perintah Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff. Sebagai bagian dari pengawasan Belanda terhadap penguasa Surakarta, khususnya terhadap keraton Surakarta, benteng ini dibangun, sekaligus sebagai pusat garnisun.

Setelah kemerdekaan, benteng ini digunakan sebagai markas TNI untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada masa 1970-1980-an bangunan ini digunakan sebagai tempat pelatihan keprajuritan dan pusat Brigade Infanteri 6/Trisakti Baladaya Kostrad untuk wilayah Karesidenan Surakarta dan sekitarnya.

Setelah lama tidak terpakai sejak 1980-an, benteng ini penuh semak belukar dan tak terawat. Pada tahun 2014 dilakukan perubahan dan restorasi, kini Benteng Vastenburg terlihat indah dengan warna putih.

2. Candi Asu

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Candi Asu adalah nama sebuah candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Nama candi tersebut diberikan oleh masyarakat setempat karena arca lembu Nandi yang ada di kompleks candi menyerupai anjing.

Candi ini terletak di lereng Gunung Merapi di dekat pertemuan Sungai Pabelan dan Sungai Telingsing, kira-kira 10 km di sebelah timur laut dari Candi Ngawen. Di dekatnya juga terdapat dua buah candi Hindu lainnya, yaitu Candi Pendem dan Candi Lumbung.

Candi Asu menghadap ke barat. Candi ini berdenah bujur sangkar dengan panjang sisi 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Dengan ukuran tersebut, candi ini termasuk candi kecil.

Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasasti batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I (874 M) dan Sri Manggala II (874 M).

3. Candi Batur

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Situs Candi Batur terletak di Desa Ngabaran, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Situs Candi Batur berada di atas sebuah bukit, Kondisi saat ini tinggal struktur dari susunan batu candi yang bentuknya berupa batur atau semacam pondasi. Pada sisi barat dan timur terdapat anak tangga dengan pipi tangga berhiaskan makara.

Makara adalah makhluk mitologi yang digambarkan dalam bentuk buaya dengan ekor ikan yang memiliki belalai seperti gajah. Makara merupakan lambang air dan seringkali digunakan sebagai bagian dari ornamen candi.

Sebagai tiruan Gunung Mahameru, candi dihias dengan beragam motif yang menggambarkan gunung dan segala isinya, diantaranya flora. Tumbuhan pada umumnya direliefkan dengan gaya dan digabung dengan motif lainnya, seperti bentuk-bentuk geometris.

4. Candi Brangkal

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Candi Brangkal berada di Desa Wisata Candirejo, tepatnya di Dusun Bangkal, Desa Candirejo, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Timur. Situs peninggalan ini berupa sebuah arca, batu candi dan juga lingga semu. Arca dan artefak lainnya ditemukan sekitar tahun 2006 pada sebuah dinding tebing sungai.

5. Candi Borobudur

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.

6. Candi Gunungsari

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Candi Gunungsari atau Candi Gunung Sari adalah candi Hindu Siwa yang terletak di Dusun Gunungsari, Desa Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi ini berada di puncak Bukit Sari (Gunung Sari), tidak jauh dari Candi Gunung Wukir tempat ditemukannya Prasasti Canggal. Dilihat dari ornamen, bentuk, dan arsitekturnya kemungkinan lebih tua daripada Candi Gunung Wukir.

7. Candi Gunung Wukir

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Candi Gunung Wukir, Candi Canggal, atau Shiwalingga adalah candi Hindu yang berada di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi ini merupakan candi tertua. Berdasarkan prasasti Canggal yang ditemukan pada tahun 1879 di reruntuhan, candi ini didirikan pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu pada tahun 732 M (654 tahun Saka). Prasasti ini memiliki banyak informasi berkait dengan Kerajaan Medang atau Mataram Hindu. Berdasarkan prasasti ini, Candi Gunung Wukir mungkin memiliki nama asli Shiwalingga atau Kunjarakunja.

Kompleks tempat reruntuhan candi ini berada mempunyai ukuran 50 m × 50 m. Bangunan candi sendiri terbuat dari jenis batu andesit setidaknya terdiri atas satu candi induk dan tiga candi perwara. Selain prasasti, di kompleks candi ini juga ditemukan yoni, lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Nandi.

8. Candi Lumbung

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Candi Lumbung adalah salah satu kompleks percandian Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di sebelah candi Bubrah. Meskipun demikian, Candi ini telah masuk ke wilayah Jawa Tengah, yaitu di Kabupaten Klaten. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kumpulan dari satu candi utama (bertema bangunan candi Buddha) yang dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relatif cukup bagus.

9. Candi Losari

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Candi Losari adalah sebuah candi yang diduga dari agama Hindu, terletak Dusun Losari, Desa Salam, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (lokasi).

Candi Losari ditemukan di tengah kebun salak ketika Badri, pemiliknya, menggali parit pada tanggal 11 Mei 2004. Di galian tersebut ternyata terdapat banyak batu candi. Badri, seorang guru SMP Negeri 12 di Kota Magelang, membawa pulang batu-batu tersebut dan menyusun lagi di halaman rumahnya. Penemuan ini kemudian ditindaklanjuti dengan ekskavasi arkeologis dan rekonstruksi oleh pemerintah melalui Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah dan Balai Arkeologi Yogyakarta.

Dari situs ini baru ditemukan satu bangunan candi yang masih utuh, terpendam di dalam lahar dari Gunung Merapi. Candi tersebut berukuran sekitar 3x3 meter, menghadap ke barat.

10. Candi Mendut

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari Candi Borobudur.

Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.

Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah. Tinggi bangunan adalah 26,4 meter.

11. Candi Ngawen

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Sailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Menurut Soekmono keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah bangunan suci yang tersebut dalam prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M, yaitu Venuvana (Sanskerta: 'Hutan Bambu').

Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya tampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih tampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.

12. Candi Pawon

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Candi Pawon adalah nama sebuah candi, peninggalan Masa Klasik, yang terletak di Kabupaten Magelang. Lokasitepatnya berada di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur, tepat berjarak 1750 meter dari Candi Borobudur ke arah timur dan 1150 m dari Candi Mendut ke arah barat.

Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. Ahli epigrafi J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa awu yang berarti 'abu', mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti 'dapur', akan tetapi de Casparis mengartikannya sebagai 'perabuan' atau tempat abu. Penduduk setempat juga menyebutkan Candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata bahasa Sanskerta vajra yang berarti 'halilintar' dan anala yang berarti 'api'. Candi Pawon dipugar tahun 1903.

Di dalam bilik candi ini sudah tidak ditemukan lagi arca sehingga sulit untuk mengidentifikasikannya lebih jauh. Suatu hal yang menarik dari Candi Pawon ini adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief pohon hayati (kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk setengah manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung).

13. Candi Pendem

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)


Candi Pendem terletak di Dusun Candipos, Kelurahan Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Lokasi tersebut termasuk dalam jalur Solo-Selo-Borobudur. Candi ini berlokasi di kiri jalan, masuk melalui hambaran sawah.

Candi ini terletak di tanah yang lebih rendah dari pada permukaan tanah saat ini. Terletak lebih kurang 150 m sebelah timur laut Candi Asu dan 50 m disebelah selatan Sungai Pabelan.

Bangunan menghadap barat yang terletak di tengah-tengah persawahan. Berdenah bujursangkar dengan panjang 11,9 m dan lebar 11,9 m. Bagian yang tersisa hanya bagian kaki dan sebagian tubuh candi bagian bawah, sedangkan atap bangunan sudah tak berbekas.

Motif hias yang ditemukan di candi ini adalah sulur gedung yang keluar dari jambangan. Ditengah ikat sulur terdapat burung bangau yang membuka kedua sayapnya. Panil tersebut diapit pilaster yang disebelahnya terdapat relief ghana. Keunikan yang ditemukan di candi ini adalah adanya lubang-lubang untuk permainan dakon di batu bagian batur sudut barat daya. (Sumber)

14. Candi Retno

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Candi Retno merupakan salah satu candi yang berada di wilayah Magelang, Jawa Tengah. Candi Retno berada di dukuh Bandungan, Desa Candiretno, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang.

Candi Retno menggunakan batu bata sebagai material bangunan candi.
Namun batu bata yang berada di candi ini tidak seperti batu bata yang digunakan untuk pembuatan rumah penduduk. Batu bata di candi Retno ini berukuran besar. Akan tetapi bentuk bangunan candi sudah tidak lagi utuh. Hanya tersisa pondasi dan juga batu bata yang berantakan.

Selain itu ada pula sebuah Yoni yang lumayan besar dan juga sebuah arca Nindi. Namun arca tersebut sudah tidak ada lagi di lokasi melainkan sudah dipindahkan ke Museum Karmawibangga Borobudur. Dari reruntuhan batu bata tersebut, adalah dua buah Antefiks yang tersisa dengan hiasan ukiran cantik.

15. Candi Selogriyo

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Candi Selogriyo adalah sebuah peninggalan purbakala di Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke-9 M, pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Candi Selogriyo berada di lereng timur kumpulan tiga bukit, yakni Bukit Condong, Bukit Giyanti, dan Malang, dengan ketinggian 740 mdpl. Secara administratif, candi ini berada di Desa Candisari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang.

Arsitektur Indonesia Klasik berlatar belakang agama Hindu ini menghadap ke arah timur. Di empat sisi dinding bangunan candi terdapat lima relung tempat arca-arca perwujudan dewa. Arca-arca tersebut adalah Durga Mahisasuramardini (dinding utara), Ganesha (dinding barat), Agastya (dinding selatan), serta Nandiswara dan Mahakala (dinding timur).

Salah satu keistimewaan candi tanpa perwara ini adalah kemuncaknya yang berbentuk buah keben. Kemuncak tersebut disebut amalaka.

16. Candi Umbul

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Candi Umbul adalah situs purbakala berupa pemandian air panas yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini dibangun sejak zaman Wangsa Syailendra, dan sampai sekarang sisa-sia peninggalannya masih tetap dilindungi dan dijadikan salah satu objek wisata andalan di Kabupaten Magelang.

Asal usul penamaan Candi Umbul berasal dari kata umbul (bahasa Jawa) karena sumber air yang keluar dari dasar kolam selalu menyembul serupa gelembung-gelembung, atau yang di masyarakat Jawa disebut mumbul (naik). Kolam di situs ini terbagi menjadi dua tempat. Yang pertama (terletak di bagian atas) merupakan kolam air panas,g mengandung belerang. Sedangkan kolam kedua (lebih rendah) berisi air dingin. Keseluruhan dinding kolam terbuat dari lapisan-lapisan batu andesit. Pada zamannya, kolam ini merupakan tempat pemandian para putra-putri bangsawan.

Sejumlah batuan situs berjejer di tepian kolam menggambarkan berbagai relief tumbuhan, binatang, dan stupa bagian puncak candi. Dan secara keseluruhan candi ini masih menampakan nuansa sejarahnya. Keberadaan umpak (fondasi) yang terdapat di setiap sudut dasar kolam merupakan tiang penyangga atap pelindung. Sedangkan batuan lain berbentuk lingga datar merupakan alas duduk untuk bersemadi para ksatria.

Dari relief dan beberapa petilasan bentuk lingga dan yoni di beberapa titik, membuktikan bahwa Candi Umbul merupakan candi bercorak Hindu.

17. Stasiun Gundih

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Stasiun Gundih (GD) merupakan stasiun kereta api kelas I yang terletak di Geyer, Geyer, Grobogan. Stasiun yang terletak pada ketinggian +54 m ini merupakan stasiun kereta api aktif yang letaknya paling selatan di Daerah Operasi IV Semarang. Stasiun ini merupakan stasiun percabangan antara jalur yang menuju Semarang, Gambringan, dan Solo. Kedua rel bertemu di sebelah selatan stasiun.

Stasiun Gundih adalah stasiun simpangan bertemunya jalur dari Gambringan dan dari Brumbung. Ada kisah sejarah tersendiri pada stasiun ini, mengingat stasiun ini adalah awal dimulainya jalur dengan 3 rel, yaitu rel lebar 1435 mm plus sebuah rel lagi di dalamnya sehingga kereta dengan lebar sepur 1067 mm bisa melewati jalur itu. Hal ini harus dilakukan supaya perjalanan kereta dari dua arah tidak terhambat, karena pada saat itu rel dari arah Gambringan berukuran 1067 mm sementara dari Brumbung lebar sepurnya 1435 mm. Sebenarnya jalur 3 rel ini membentang hingga stasiun Lempuyangan Yogyakarta sebelum akhirnya dibongkar Jepang tahun 1942 untuk dibawa ke wilayah jajahan Jepang di Asia Tenggara.

Pembangunan Stasiun Gundih yang pertama adalah bagian dari pembangunan jalan rel Semarang – Vorstenlanden tahap ke tiga, antara Kedungjati dan Surakarta, yang selesai dibangun pada 1870 oleh Nederlandsche-Indische Spoorweg-Maatschappij (NIS). Namun Stasiun Gundih yang ada sekarang adalah stasiun kedua yang mulai digunakan pada 1900 bersamaan dengan dibukanya jalur Gundih – Kradenan oleh NIS. Pada 1903 jalur Gundih – Kradenan terhubung dengan Surabaya (dengan lintasan cabang Babat -Tuban – Merakurak dan Sumari – Gresik – Kandangan) yang menggunakan rel dengan lebar 1067 mm. (Sumber)

18. Kasunanan Surakarta

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri pada tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram (Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi) tersebut membuahkan kesepakatan bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta bergelar sunan, sedangkan raja Kesultanan Yogyakarta bergelar sultan.

19. Stasiun Kedungjati (KEJ)
 

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Stasiun Kedungjati (KEJ) merupakan stasiun kereta api kelas III/kecil yang terletak di Kedungjati, Kedungjati, Grobogan. Stasiun yang terletak pada ketinggian +36 meter ini termasuk dalam Daerah Operasi IV Semarang. Stasiun ini memiliki tiga jalur kereta api dengan jalur 2 sebagai sepur lurus.

Stasiun Kedungjati diresmikan pada tanggal 19 Juli 1868. Pada mulanya, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) selaku perusahaan pertama yang mengoperasikan kereta api komersial di Hindia Belanda merencanakan membangun dua jalur kereta api, yaitu Samarang–Vorstenlanden dan Samarang–Willem I/Ambarawa. Hal ini dilakukan agar mobilitas tentara dan hasil bumi serta penumpang lancar. Dari stasiun ini, pembangunan jalur kereta api diarahkan ke dua percabangan, yaitu ke arah Gundih lalu ke Solo dan ke arah Willem I Ambarawa. Dalam rencana yang dibuat oleh NIS sendiri, pada tanggal 1 Mei dan 1 September 1869, jalur segmen Kedungjati–Gundih–Solo sudah dapat beroperasi, dan diresmikan penuh pada tanggal 10 Februari 1870.

Saat ini arsitektur stasiun ini serupa dengan Stasiun Ambarawa di Ambarawa, bahkan dulu beroperasi jalur kereta api dari Kedungjati ke Stasiun Ambarawa, yang sudah tidak beroperasi sejak tahun 1976. Pada tahun 1907, Stasiun Kedungjati yang tadinya dibangun dari kayu diubah ke bata berplester dengan peron berkonstruksi baja dengan atap dari seng dengan bentang sebesar 14,65 m. Seperti Stasiun Ambarawa, stasiun ini dulu adalah stasiun pulau.

Sayangnya, jalur bagian selatan yang menuju Ambarawa sudah lama ditutup, tetapi PT KAI dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian telah merencanakan bahwa jalur ini akan dihidupkan kembali dan saat ini proses reaktivasi jalur sedang dihentikan.

20. Keraton Surakarta Hadiningrat

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Keraton Surakarta adalah Istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan pada tahun1743.

Walaupun Kasunanan Surakarta Hadinigrat tersebut secara resmi telah menjadi bagian Negara Republik Indonesia sejak tahun 1945, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata utama di Kota Surakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kasunanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik.

21. Masjid Agung Kraton Surakarta

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Masjid Agung Kraton Surakarta (nama resmi bahasa Jawa: Masjid Ageng Karaton Surakarta Hadiningrat, Hanacaraka: ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦲꦒꦼꦁ​ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦫꦯꦸꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦔꦿꦠ꧀) pada masa pra-kemerdekaan adalah masjid agung milik kerajaan (Surakarta Hadiningrat) dan berfungsi selain sebagai tempat ibadah juga sebagai pusat syiar Islam bagi warga kerajaan. Masjid Agung dibangun oleh Sunan Pakubuwono III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768. 

Masjid Agung menempati lahan seluas 19.180 meter persegi yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta merupakan bangunan bergaya tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka (mahkota). Gaya bangunan tradisional Jawa ini adalah khusus untuk bangunan masjid.

Di dalam kompleks Masjid Agung dapat dijumpai berbagai bangunan dengan fungsi kultural khas Jawa-Islam. Juga terdapat maksura, yang merupakan kelengkapan umum bagi masjid kerajaan.

22. Pasar Gede Hardjonagoro

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Pasar Gede Hardjonagoroadalah pasar terbesar di Kota Surakarta. Pasar Gede secara harafiah berarti “Pasar Besar” dalam bahasa Jawa. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama Ir. Thomas Karsten. Bangunan pasar selesai pembangunannya pada tahun 1930 dan diberi nama Pasar Gedhé Hardjanagara. Pasar ini diberi nama pasar gedhé atau “pasar besar” karena terdiri dari atap yang besar. 

Arsitektur Pasar Gede merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya Jawa. Pada tahun 1947, Pasar Gede mengalami kerusakan karena serangan Belanda. Lalu Pemerintah Republik Indonesia yang kemudian mengambil alih wilayah Surakarta dan Daerah Istimewa Surakarta kemudian merenovasi kembali pada tahun 1949. Namun perbaikan atap selesai pada tahun 1981. Pemerintah indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari Pasar Gede, digunakan untuk kantor DPU yang sekarang digunakan sebagai pasar buah.

23. Pasar Nongko

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Pasar Nongko adalah salah satu pasar tradisional yang terletak di Kecamatan Mangkubumen, Kota Surakarta. Lokasi pasar ini juga berdekatan dengan stasiun Balapan. Pasar ini secara resmi bernama Pasar Turisari karena lokasinya di daerah Turisari. Namun oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama Pasar Nongko karena berdasarkan sejarahnya pasar ini dahulu merupakan tempat transit dan jual beli buah nangka.

Pasar Nongko berkembang sekitar paruh terakhir abad XI, khususnya setelah dibangunnya jelan kereta api dan Stasiun Balapan sekitar tahun 1870. Pada awalnya pasar ini menjadi tempat transit para pedagang buah yang datang dari berbagai daerah, khususnya dari kawasan utara Surakarta, seperti Gundi, Telawah, Kedungjati, Simo, dan daerah lainnya. Selain itu, dibangunnya jembatan Komplang juga menjadikan Kota Surakarta semakin ramai dikunjungi orang-orang dari desa untuk menjual hasil buminya.

Perkembangan Pasar Nongko semakin mengalami kemajuan, semula hanya sebagai tempat transit kemudian berubah menjadi pasar yang ditempati oleh pedagang yang semakin meningkat jumlahnya. Keadaan tersebut menjadikan perhatian pemerintah untuk membenahi sarana dan prasarana pasar tersebut. Maka dari itu, pada tahun 1986 mendapat bantuan pembangunan gedung pasar dari pemerintah pusat.

24. Stasiun Purworejo (PWR)

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Stasiun Purworejo (PWR) merupakan stasiun kereta api nonaktif kelas II yang terletak di Purworejo, Purworejo, Purworejo tepatnya 11 km arah timur laut dari Stasiun Kutoarjo. Stasiun yang terletak pada ketinggian +63 meter ini merupakan stasiun yang letaknya paling timur di Daerah Operasi V Purwokerto. Stasiun ini memiliki dua jalur dengan jalur 1 sebagai sepur lurus; dibangun oleh Staatsspoorwegen untuk melayani kebutuhan angkutan penumpang di Kecamatan Purworejo karena jarak Kutoarjo-Purworejo yang terkesan jauh.

Di barat daya stasiun ini dahulu terdapat balai yasa, tetapi sekarang sudah tidak aktif karena pegawainya dipindah ke Lahat. Stasiun ini sempat tidak aktif dan baru diaktifkan kembali pada tahun 1990-an oleh Haryanto Dhanutirto, Menhub saat itu.

Stasiun ini merupakan salah satu stasiun terminus di Jawa Tengah, selain Cilacap dan Wonogiri. Hanya satu kereta api yang datang dan berangkat dari stasiun ini, yakni kereta api Feeder Purworejo yang melayani tujuan ke Kutoarjo dan ditarik lokomotif simbah BB300. Semenjak bulan November 2010, kereta api feeder ini sudah tidak dioperasikan lagi.

Maka, sejak saat itulah stasiun ini menjadi stasiun nonaktif. Kini stasiun ini ditetapkan oleh KAI sebagai cagar budaya, telah dilakukan renovasi, dan tidak ada reaktivasi untuk jalur ini.

25. Stasiun Purwosari

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Stasiun Purwosari (PWS) merupakan stasiun kereta api kelas I yang terletak di Purwosari, Laweyan, Surakarta. Stasiun yang terletak pada ketinggian +98 m ini termasuk dalam Daerah Operasi VI Yogyakarta dan hanya melayani KA kelas ekonomi lintas selatan dan lokal/komuter.

Stasiun ini merupakan stasiun percabangan jalur kereta api antara arah Surabaya dengan Wonogiri. Jalur yang menuju Surabaya termasuk jalur utama, sedangkan yang ke Wonogiri termasuk jalur lintas cabang. Sampai Stasiun Sangkrah, jalur sekunder tersebut termasuk unik karena menjadi salah satu jalur kereta api aktif di Indonesia yang berjejer/berdampingan dengan jalan raya, selain percabangan menuju Depot Pertamina Madiun. Dahulu sepanjang jalur Purwosari-Sangkrah terdapat delapan buah perhentian kecil, yakni Pesanggrahan, Ngadisuran, Bando, Ngapeman, Pasarpon, Cayudan, Kauman, dan Lojiwetan. Halte-halte tersebut sekarang sudah tidak ada lagi.

26. Stasiun Semarang Poncol

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Stasiun Semarang Poncol (SMC) atau disebut juga dengan Stasiun Poncol adalah stasiun kereta api kelas besar tipe B yang terletak di Purwosari, Semarang Utara, Kota Semarang. Stasiun yang terletak pada ketinggian +3 meter ini termasuk dalam Daerah Operasi IV Semarang dan merupakan stasiun terbesar kedua di Kota Semarang setelah Stasiun Tawang.

Stasiun ini menjadi tempat pemberhentian sebagian besar kereta api penumpang kelas ekonomi dan komuter di Semarang. Hampir semua KA barang yang melintas di jalur rel pantura berhenti di stasiun ini, kecuali KA parsel ONS yang bongkar muat barangnya dilayani di Stasiun Tawang. Stasiun Poncol sempat menjadi salah satu tempat pemberhentian peralihan KA di Semarang selain Stasiun Alastua hanya pada saat Stasiun Tawang sedang tergenang banjir.

Bangunan Stasiun Semarang SCS yang sekarang ini diresmikan pada tanggal 6 Agustus 1914 dirancang oleh arsitek Henri Maclaine Pont, seorang arsitek berkebangsaan Belanda. Stasiun ini difungsikan untuk menggantikan fungsi Stasiun Pendrikan yang ada lebih dahulu. Tidak seperti karya Pont yang pertama (Kantor SCS Tegal—yang tidak memiliki keistimewaan apa pun dari sisi arsitekturnya), karya Pont yang satu ini pernah ikut ambil bagian dalam forum internasional Paris Exposition di Prancis, 1925. Dahulu stasiun ini terpisah jalur relnya dengan Stasiun Semarang Tawang pada jarak sejauh 2,5 km.

Setelah Djawatan Kereta Api mendata stasiun-stasiun seluruh Indonesia pada tahun 1950-an, Stasiun Semarang-West ini kemudian diberi nama Semarang Poncol. Ciri khas yang dimiliki stasiun ini adalah diputarkannya lagu Caping Gunung setiap kali terjadi kedatangan kereta api, sebelum akhirnya diubah menjadi instrumental Gambang Semarang, sama seperti stasiun kelas besar di Daop IV Semarang lainnya.

27. Stasiun Semarang Tawang

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Stasiun Semarang Tawang adalah stasiun kelas besar tipe A di Tanjung Mas, Semarang Utara, Semarang. Stasiun yang terletak pada ketinggian +2 meter ini merupakan stasiun terbesar yang berada dalam pengelolaan PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi IV Semarang sekaligus stasiun terbesar di Kota Semarang dan Jawa Tengah bagian utara. Stasiun ini merupakan stasiun yang sangat sibuk karena hampir semua kereta penumpang yang melintasi jalur utara berhenti di sini. Nama "Tawang" diambil dari nama kampung di dekat stasiun ini, yaitu Tawangsari.

Letak stasiun ini tidak terlalu jauh dari pusat kota, kurang lebih 5 kilometer. Stasiun ini juga tidak jauh dari objek wisata Kota Lama dan Pasar Johar.

Kereta api yang melintas langsung/tidak berhenti di stasiun ini adalah KA Jayabaya, Kertajaya, dan angkutan barang selain parcel ONS.

Stasiun kereta api di wilayah Tawang mulai dibangun pada tanggal 29 April. Bangunan stasiun ini selesai dan diresmikan pada 1 Juni 1914 serta digunakan untuk menggantikan Stasiun Samarang NIS yang selalu terendam air jika Laut Jawa mengalami pasang.

Meskipun demikian, dahulu stasiun ini hampir selalu terendam air rob sehingga ketinggian stasiun turun menjadi 0 m karena Laut Jawa yang pasang bercampur dengan air hujan dan air limbah yang berasal dari saluran-saluran air di Kota Semarang. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Semarang mendirikan polder di depan stasiun ini—berupa kolam raksasa yang dilengkapi dengan pompa—pada tahun 1998-2000.

28. Taman Banjarsari

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Taman Banjarsari atau juga bisa disebut Monumen Banjarsari adalah sebuah taman yang terletak di,Kota Surakarta. Taman ini sangat dekat dengan Pasar Legi. Ke arah barat taman ini sangat dekat dengan stasiun Balapan sedangkan kearah selatan dekat dengan kawasan Mangkunegaran. Ke arah utara menuju terminal Tirtonadi.

Monumen 45 merupakan sebuah monumen yang dibangun untuk memperingati peristiwa bersejarah di kota Surakarta yaitu serangan umum surakarta. Monumen ini dibangun di taman Banjarsari tempat dimana serangan umum ini dimulai, serangan ini digagas oleh Letkol Slamet Riyadi dan rekannya Mayor Ahmadi yang akhirnya diangkat menjadi pahlawan nasional.

Monumen 45 Banjarsari dibangun pemerintah kota Surakarta untuk mengenang perjuangan rakyat Surakarta pada peristiwa serangan umum empat hari di solo. Setelah tiga tahun pembangunan monumen ini diresmikan oleh Gubernur Jawa tengah Soepardjo Roestam pada tanggal 10 November 1976, bertepatan dengan Hari Pahlawan.

29. Stasiun Tanggung

Bangunan Peninggalan Sejarah Provinsi Jawa Tengah (Jateng)

Stasiun Tanggung (TGG) adalah sebuah stasiun kereta api kelas III/kecil yang terletak di Tanggungharjo, Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah. Stasiun yang terletak pada ketinggian +20 meter ini termasuk dalam Daerah Operasi IV Semarang. Stasiun ini hanya memiliki dua jalur kereta api dengan jalur 2 sebagai sepur lurus.

Karena sulitnya akses transportasi umum ke stasiun ini, akhirnya stasiun ini beralih fungsi sebagai stasiun pemantau. Di depan bangunan stasiun didirikan monumen roda dan sayap dengan tulisan: "Di bumi inilah kita bermula", serta stasiun ini dibuka untuk umum maupun komunitas yang ingin mengetahui sejarah perkeretaapian di Indonesia.

Stasiun ini merupakan stasiun kereta api keempat tertua di Indonesia (setelah Samarang NIS, Allas-Toewa, dan Broemboeng) dan sampai saat ini masih beroperasi di Indonesia. Bangunan stasiun yang didirikan pertama kali telah dibongkar pada tahun 1910, Pada tahun yang sama, NIS membangun stasiun baru di atas bekas bangunan lama, dengan gaya arsitektur “Chalet-NIS” yang banyak dipakai ketika NIS merenovasi stasiun-stasiunnya antara 1900-1915. “Chalet” sebenarnya adalah sebutan untuk bangunan berarsitektur tradisional di Pegunungan Alpen, seperti lumbung, kandang, maupun rumah tinggal. 

Ciri-ciri gaya bangunan ini adalah konstruksi kayu dengan atap dari sirap batu dan teritisan lebar untuk melindungi bangunan dari hujan dan salju. Dalam perkembangannya gaya arsitektur ini menjadi simbol kesederhanaan, keselarasan dengan alam, kebebasan, dan demokrasi. Kemudian dibangunlah bangunan stasiun yang baru, yang dapat dilihat sampai sekarang. Pada pertengahan tahun 1980-an, stasiun ini pernah hendak dibongkar dan ditempatkan di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

Stasiun ini sudah empat kali direnovasi, yakni pertama tahun 1984, kedua setelah banjir 1996 (tepatnya tahun 1997), ketiga kali renovasi pada tanggal 15 Maret 2000 dan terakhir kali banjir pada Desember 2006 (tepatnya pada bulan Februari 2007).

30. Tugu Pamandengan


Tugu Pamandengan juga dikenal sebagai Tugu nol kilometer, adalah salah satu bangunan bersejarah yang ada di Kota Surakarta.Tugu tersebut terletak di depan Balai Kota Solo dan termasuk dalam bangunan cagar budaya. Tugu setinggi tiga meter berdiri di tengah Jalan Jenderal Sudirman. Bangunan tugu berbentuk segiempat mengerucut ke atas dengan empat lentera mengarah ke segala arah.

Tugu itu diperkirakan peninggalan antara Pakubuwana VI hingga Pakubuwana X. Tugu itu menjadi titik kosmologi perkotaan pada zamannya. Tugu Pamandengan berfungsi sebagai titik fokus pandangan Sri Sunan ketika beliau lenggah sinewaka di tempat yang ditinggikan di Bangsal Pagelaran. Tugu Pamandengan merupakan titik kosmologi budaya Jawa. Dari tata letaknya bisa terlihat, ada Pasar Gede di sebelah timur sebagai simbol sifat duniawi yang terkait dengan hal ekonomis. Ada Masjid Agung di sebelah barat sebagai simbol untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Ada poros Tugu Pemandengan sebagai simbol visi raja yang luas.


Sumber: