Sulawesi Tengah (disingkat Sulteng) adalah sebuah provinsi di bagian tengah Pulau Sulawesi, Indonesia. Ibu kota provinsi ini adalah Kota Palu.
Hasil pencarian di Google : peninggalan megalitikum di sulawesi tengah, sejarah megalitikum sulawesi tengah, sejarah patung megalitikum sulawesi tengah, kubur batu peninggalan zaman megalitikum di sulawesi tengah, peninggalan sejarah jawa tengah
Wilayah sepanjang pesisir barat Sulawesi Tengah, dari Kaili hingga Tolitoli, ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa sekitar pertengahan abad ke-16 di bawah kepemimpinan Raja Tunipalangga. Di sisi lain, daerah Teluk Tomini sebagian besar berada di bawah kekuasaan Kerajaan Parigi. Pada tahun 1824, perwakilan Kerajaan Banawa dan Kerajaan Palu menandatangani Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) dengan pemerintah kolonial. Kapal-kapal Belanda mulai sering berlayar di bagian selatan Teluk Tomini setelah tahun 1830.
Penaklukan Belanda di Sulawesi Tengah dimulai dengan serangkaian serangan militer terhadap berbagai kerajaan lokal dan daerah. Pada tahun 1905, sebagian wilayah di Poso terlibat dalam pemberontakan gerilya melawan pasukan Belanda, sebagai bagian dari kampanye militer terkoordinasi Belanda ke seluruh daratan Sulawesi. Salah satu kampanye militer yang terkenal adalah "penaklukan" Kerajaan Mori dalam Perang Wulanderi yang terjadi pada tahun 1907.
Dalam perkembangannya, ketika Pemerintahan Hindia Belanda jatuh dan sudah tidak berkuasa lagi di Sulawesi Tengah serta seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat kemudian membagi wilayah Sulawesi Tengah menjadi 3 (tiga) bagian, yakni: Sulawesi Tengah bagian Barat, Sulawesi Tengah bagian Tengah (Teluk Tomini), dan Sulawesi Tengah bagian Timur (Teluk Tolo).
Daftar Isi:
1.000 anak tangga adalah anak tangga yang dibangun oleh kolonial belanda yang berlokasi di Kelurahan Gunung Bale, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Meski jumlahnya hanya sekitar ratusan anak tangga, tangga yang dijuluki 1.000 anak tangga itu dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda. Diusulkan tahun 1904 dan dimulai pembangunannya tahun 1905 bersamaan dengan perkantoran dan perumahan proyek itu selesai 1907.
Anak tangga yang dijuluki 1.000 anak tangga itu panjangnya mencapai 1 kilometer dari kawasan pesanggarahan di bawah menuju ke kawasan perkantoran kawasan atas Donggala.
Fungsi tangga itu diperuntukkan untuk jalan kaki para pegawai di luar jam kerja, menuju Kota dari kompleks perkantoran Keresidenan Pemerintahan Hindia Belanda. Namun, yang tersisah saat ini adalah anak tangga dan rumah dinas Asisten Residen, namun sudah banyak dirubah karena beberapa kali direhab. [Sumber: Sulteng Raya]
Masjid Tua Bungku, Poso-Sulteng [Sumber: Ponpes Masjid Tua Bungku] |
Masjid Tua Bungku terletak di Desa Marsaole, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Mesjid ini adalah mesjid kedua dari penyebaran agama islam di daerah Bungku. Masjid Tua Bungku merupakan salah satu masjid tertua yang ada di Desa Marsaole Kec. Bungku Tengah, Kab. Morowali yang di bangun pada tahun 1835 atas prakarsa Raja Bungku VII yang bernama Kalili Mohammad Baba, yang dapat di tempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor dari Kota Palu selama 7 jam.
Kalili Mohammad Baba yang bergelar Peapua Levivi Rombia dalam membangun masjid dibantu oleh seorang Arsitek bernama Merodo bergelar Sanggaji, yang merupakan keturunan bangsawan dari Ternate dan tinggal di Desa Onette Kec. Bungku Tengah.
Masjid Tua Bungku dengan luas 15 x 24 m,dan tinggi bangunan dari tanah sampai ke atap tingkat 5 adalah 18 m, didirikan di atas batu tebal tanpa menara dan di kelilingi pagar besi di bagian depan masjid terdapat serambi yang berukuran 15 x 4 m, beratap dan berpagar kayu serta berpintu, sekarang di lokasi mesjid ini telah berdiri sebuah pesantren.
Masjid Tua Bungku terdiri dari ruang utama dan serambi. Dalam ruang utama terdapat tiang, dan mihrab. Tiang dalam ruangan ada 17 buah terdiri dari empat tiang soko guru dan 13 buah tiang kelilingi yang lebih kecil dari tiang soko guru. Mimbar terdapat pada dinding barat yang menjorok keluar. Di sebelah utara mihrab terdapat mimbar yang berbentuk kursi tinggi. Selain itu dalam ruangan juga terdapat sebuah peti yang berfungsi sebagai tempat menyimpan naskah kitab suci Alqur’an.
Masjid ini memiliki menara yang berdiri 25 meter dari permukaan tanah, dikenal sebagai menara alif yang berarti tauhid (keesaan) Allah, sumber sejarah menceritakan dulunya menara alif ini terpasang simbol bulan bintang. Atap serambi tidak bersatu dengan atap ruang induk, tetapi menempel pada dinding di bawah atap kesatu. Atap masjid bertumpang lima dengan kombinasi bentuk kubah pada bagian puncaknya. Masjid dilengkapi sarana lain seperti sumur dan bak penampungan air untuk berwudhu. Selain itu juga terdapat bedug. Di halaman muka, di dekat serambi bagian timur laut dan tenggara masing-masing terdapat sebuah meriam yang berasal dari Portugis.
Banua Mbaso atau disebut juga Souraja merupakan rumah tradisional tempat tinggal turun temurun bagi keluarga bangsawan. Souraja pertama kali dibangun oleh Raja Palu, Jodjokodi, pada tahun 1892. Souraja yang pertama kali dibuat terebut, masih bisa dilihat pada saat ini. Kata Souraja (Sou Raja) dapat diartikan rumah besar, merupakan pusat pemerintahan kerajaan masa lampau, bisa dikatakan sebagai rumah tugas dari manggan atau raja. Selama bertugas, raja beserta keluarganya tinggal di sini. Secara keseluruhan, bangunan Banua Mbaso terbagi atas tiga ruangan , yaitu :
- Lonta karawana (ruang depan). Ruangan ini berfungsi sebagai ruang tamu. Di ruangan ini dibentangkan onysa (tikar) sebagai alas. Para tamu yang menginap, biasanya bermalam menggunakan ruang ini.
- Lonta tata ugana (ruang tengah). Ruangan ini khusus untuk menerima tamu yang masih ada hubungan keluarga.
- Lonta rorana (ruang belakang). Ruangan ini berfungsi sebagai ruang makan. Terkadang ruang makan juga berada di lonta tata ugana. Di pojok belakang ruangan ini khusus untuk kamar tidur anak-anak gadis.
Untuk avu (dapur), sumur dan jamban, dibuatkan bangunan tambahan yang terletak di belakang bangunan utama. Untuk menghubungkan bangunan induk dengan ruang dapur tersebut dibuatkan jembatan beratap yang disebut dengan hambate atau dalam bahasa Bugis disebut jongke. Souraja berbentuk rumah panggung yang ditopang sejumlah tiang balok dari kayu ulin, bayan, atau kayu besi yang terkenal keras. Atapnya berbentuk prisma yang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang disebut panapiri, dan pada ujung bubungan bagian depan dan belakang diletakkan mahkota berukir disebut bangko-bangko.
Terdapat banyak kaligrafi huruf Arab pada pintu atau jendela, atau ukiran pompeninie pada dinding, loteng, pinggiran cucuran atap, bangko-bangko dengan motif bunga-bungaan dan daun-daunan. Serupa dengan ukiran-ukiran yang berada di Tambi, motif-motif hiasan tersebut melambangkan kesuburan, kemuliaan, keramah-tamahan dan kesejahteraan.