Peninggalan Sejarah di Provinsi Banten
Banten adalah sebuah provinsi ,wilayah paling barat di Pulau Jawa, Indonesia. Provinsi ini pernah menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat, tetapi menjadi wilayah pemekaran sejak tahun 2000, dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Pusat pemerintahannya berada di Kota Serang.
Banten atau dahulu dikenal dengan nama Bantam pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka, dan makmur. Banten pada abad ke-5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara.
Kota Kuno Banten atau Banten Lama adalah situs yang merupakan sisa kejayaan Kerajaan Banten. Letaknya relatif tidak jauh dari kota Jakarta, dapat ditempuh sekitar 2 jam dari Jakarta.
Di tempat ini terdapat banyak Situs peninggalan dari Kerajaan Banten, di antaranya, Istana Surosoan, Masjid Agung Banten, Situs Istana Kaibon, Benteng Speelwijk, Danau Tasikardi, Meriam Ki Amuk, Pelabuhan Karangantu, Vihara Avalokitesvara.
Sejak tahun 1995, Kota Kuno Banten telah diusulkan ke UNESCO untuk dijadikan salah satu Situs Warisan Dunia.
Banten memang kaya peninggalan sejarah dari zaman megalitik sampai penjajah Jepang, meskipun bila kita ke sana saat ini banyak prasarana umum yang tertinggal. Ragam peninggalan di sana mencerminkan tingginya peradaban nenek moyang, luasnya pergaulan orang Banten sampai di tingkat internasional dengan rasa toleransi begitu tinggi antaretnis dan agama saat itu.
Istana Kaibon adalah sebuah Istana tempat tinggal Ratu Aisyah, ibunda dari Sultan Syaifuddin. Bentuknya hanyalah tinggal Reruntuhan saja. Di sampingnya ada sebuah Pohon besar dan sebuah Kanal. Menurut penduduk sekitar, dulunya ini adalah sebuah Istana yang sangat megah. Namun, Pada tahun 1832, Belanda menghancurkannya saat terjadi peperangan melawan Kerajaan Banten.
Tidak Jauh dari Istana Keraton Kaibon, terdapat sebuah Situs Istana Surosoan yang merupakan Kediaman para Sultan Banten, dari Sultan Maulana Hasanuddin hingga Sultan Haji yang pernah berkuasa pada tahun 1672-1687, Istana ini dibangun pada tahun 1552. Dibanding Istana Kaibon yang terlihat masih berupa bangunan, Istana Surosoan, hanya tinggal berupa sisa-sisa bangunannya saja. Sisa bangunan megah ini berupa Benteng yang terbuat dari batu merah dan batu karang dengan tinggi 0,5 – 2 meter. Di tengahnya terdapat kolam persegi empat. Konon, kolam tersebut adalah bekas pemandian para putri termasuk Rara Denok. Dengan luas sekitar 4 hektare. Bangunan sejarah ini dihancurkan oleh Belanda pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1680.
Masjid Agung Banten terletak di Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang. Masjid ini dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kesultanan Demak. Ia adalah putra pertama Sunan Gunung Jati.
Salah satu kekhasan yang tampak dari masjid ini adalah adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima, mirip pagoda Tiongkok. Ini adalah karya arsitektur Tionghoa yang bernama Tjek Ban Tjut. Dua buah serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama.
Di serambi kiri masjid ini terdapat kompleks makam para Sultan Banten dan keluarganya, yaitu Maulana Hasanuddin dengan Permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nashr Abdul Kahhar atau Sultan Haji. Sementara di serambi kanan, terdapat makam Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin, Ratu Salamah, Ratu Latifah, dan Ratu Masmudah.
Vihara ini merupakan salah satu Vihara tertua di Indonesia. Keberadaan Vihara ini diyakini merupakan bukti bahwa pada saat itu penganut Agama yang berbeda dapat hidup berdampingan dengan damai tanpa Konflik yang berarti.
Kondisi di dalam Vihara ini sendiri sejuk karena banyak pepohonan rindang dan terdapat tempat duduk yang nyaman untuk beristirahat. Selasar koridor Vihara yang menghubungkan bangunan satu dengan yang lainnya ini terdapat relief cerita hikayat Ular Putih, yang dilukis dengan berwarna-warni sebagai elemen estetis.
Lokasinya tidak jauh dari Masjid Agung Banten, benteng ini dibangun sekitar tahun 1585 (menurut informasi lainnya tahun 1682). Dahulunya Benteng Speelwijk digunakan sebagai Menara Pemantau yang berhadapan langsung ke Selat Sunda dan sekaligus berfungsi sebagai penyimpanan meriam-meriam dan alat pertahanan lainnya. Di tempat ini juga terdapat sebuah Terowongan yang katanya terhubung dengan Keraton Surosowan.
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama mempunyai luas tanah kurang lebih 10.000 m² dan bangunan kurang lebih 778 m². Dibangun dengan gaya arsitektur tradisional Jawa Barat seperti yang terlihat pada bentuk atapnya. Museum yang terletak antara Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten Lama ini menyimpan banyak benda-benda purbakala. Dilihat dari bentuk bangunannya Museum Situs Kepurbakalaan lebih mirip seperti sebuah rumah yang kemudian dialihfungsikan menjadi museum.
Dari sekian banyak benda-benda purbakala yang menjadi koleksinya, benda-benda tersebut dibagi menjadi 5 kelompok besar.
Selain menyimpan benda-benda koleksi kepurbakalaannya di dalam ruangan, terdapat dua Artefak yang disimpan di halaman Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama, yaitu artefak Meriam Ki Amuk dan juga alat penggilingan Lada. Yang paling terkenal adalah Meriam Ki Amuk, meriam yang terbuat dari tembaga dengan tulisan arab yang panjangnya sekitar 2,5 meter ini merupakan bantuan dari Ottoman, Turki. Konon Meriam Ki Amuk memiliki kembaran yaitu Meriam Ki Jagur yang saat ini tersimpan di halaman belakang Museum Fatahillah Jakarta. Sedangkan alat penggilingan lada yang terbuat dari batu padas yang sangat keras telah hancur menjadi beberapa bagian. Pada zaman dahulu Banten memang dikenal sebagai penghasil lada, itulah yang menyebabkan Belanda datang ke Banten, salah satunya ingin menguasai produksi lada.
Danau ini terletak tidak jauh dari Istana Kaibon, Konon, danau tersebut luasnya 5 hektare dan bagian dasarnya dilapisi oleh batu bata, Pada masa itu danau ini dikenal dengan nama "Situ Kardi" yang memiliki sistem ganda, selain sebagai penampung air di Ci Banten yang digunakan sebagai pengairan persawahan, danau ini juga dimanfaatkan sebagai pasokan air bagi keluarga keraton dan masyarakat sekitarnya. Air dialirkan dari pipa-pipa yang terbuat dari terakota berdiameter 2–40 cm. Sebelum digunakan air danau harus disaring dan diendapkan di penyaringan khusus yang dikenal dengan Pengindelan Abang atau Penyaringan Merah, Pengindelan Putih atau Penyeringan Putih, dan Pengeindelan Emas atau Penyaringan Emas.
Meriam Ki Amuk adalah sebuah Meriam kuno milik Kesultanan Banten yang saat ini berada di depan Mesjid Agung Banten Provinsi Banten. Meriam Ki Amuk konon dulu dipergunakan untuk menjaga Pelabuhan Karanghantu yang berada di Teluk Banten.
Menurut legenda, Meriam Ki Amuk adalah penjelmaan Prajurit Kesultanan Demak yang dikutuk. Tetapi menurut versi sejarah, meriam ini dibuat di Jawa Tengah abad 16 sekitar tahun 1527 M, yang kemudian dihadiahkan kepada Sultan Hasanuddin dari Kesultanan Banten oleh Sultan Trenggono yang pada awalnya bernama Ki Jimat. Meriam Si Jagur yang di halaman Museum Fatahillah Jakarta adalah "kembaran" dari Meriam Ki Amuk.
Meriam Ki Amuk terbuat dari Perunggu dengan berat 7 ton, panjang 3 meter diameter luar terbesar 0,70 m, diameter dalam mulut 0,34 m. Ia menembakkan peluru meriam seberat 180 pon (81,6 kg).
Lambang Surya Majapahit dapat dilihat di mulutnya. Ada dua prasasti berhuruf Arab di meriam ini. Yang pertama berbunyi "Aqibah al-Khairi Salamah al-Imani" yang berarti "Buah dari segala kebaikan adalah kesempurnaan iman". Prasasti kedua berbunyi "La fata illa Ali la saifa illa Zu al-faqar, isbir ala ahwaliha la mauta" yang berarti "Tiada pemuda kecuali Ali, tiada pedang selain Zulfiqar, hendaklah engkau bertakwa sepanjang masa kecuali mati".
Meriam ini semula terletak di Karangantu, sebelum dipindahkan ke halaman museum sekarang, yang sempat ditempatkan di sudut tenggara alun-alun.
Banten atau dahulu dikenal dengan nama Bantam pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka, dan makmur. Banten pada abad ke-5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara.
Kota Kuno Banten atau Banten Lama adalah situs yang merupakan sisa kejayaan Kerajaan Banten. Letaknya relatif tidak jauh dari kota Jakarta, dapat ditempuh sekitar 2 jam dari Jakarta.
Di tempat ini terdapat banyak Situs peninggalan dari Kerajaan Banten, di antaranya, Istana Surosoan, Masjid Agung Banten, Situs Istana Kaibon, Benteng Speelwijk, Danau Tasikardi, Meriam Ki Amuk, Pelabuhan Karangantu, Vihara Avalokitesvara.
Sejak tahun 1995, Kota Kuno Banten telah diusulkan ke UNESCO untuk dijadikan salah satu Situs Warisan Dunia.
Banten memang kaya peninggalan sejarah dari zaman megalitik sampai penjajah Jepang, meskipun bila kita ke sana saat ini banyak prasarana umum yang tertinggal. Ragam peninggalan di sana mencerminkan tingginya peradaban nenek moyang, luasnya pergaulan orang Banten sampai di tingkat internasional dengan rasa toleransi begitu tinggi antaretnis dan agama saat itu.
Daftar Peninggalan Sejarah di Provinsi Banten:
1. Istana Keraton Kaibon
Istana Kaibon adalah sebuah Istana tempat tinggal Ratu Aisyah, ibunda dari Sultan Syaifuddin. Bentuknya hanyalah tinggal Reruntuhan saja. Di sampingnya ada sebuah Pohon besar dan sebuah Kanal. Menurut penduduk sekitar, dulunya ini adalah sebuah Istana yang sangat megah. Namun, Pada tahun 1832, Belanda menghancurkannya saat terjadi peperangan melawan Kerajaan Banten.
2. Istana Keraton Surosowan
Tidak Jauh dari Istana Keraton Kaibon, terdapat sebuah Situs Istana Surosoan yang merupakan Kediaman para Sultan Banten, dari Sultan Maulana Hasanuddin hingga Sultan Haji yang pernah berkuasa pada tahun 1672-1687, Istana ini dibangun pada tahun 1552. Dibanding Istana Kaibon yang terlihat masih berupa bangunan, Istana Surosoan, hanya tinggal berupa sisa-sisa bangunannya saja. Sisa bangunan megah ini berupa Benteng yang terbuat dari batu merah dan batu karang dengan tinggi 0,5 – 2 meter. Di tengahnya terdapat kolam persegi empat. Konon, kolam tersebut adalah bekas pemandian para putri termasuk Rara Denok. Dengan luas sekitar 4 hektare. Bangunan sejarah ini dihancurkan oleh Belanda pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1680.
3. Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten terletak di Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang. Masjid ini dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kesultanan Demak. Ia adalah putra pertama Sunan Gunung Jati.
Salah satu kekhasan yang tampak dari masjid ini adalah adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima, mirip pagoda Tiongkok. Ini adalah karya arsitektur Tionghoa yang bernama Tjek Ban Tjut. Dua buah serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama.
Di serambi kiri masjid ini terdapat kompleks makam para Sultan Banten dan keluarganya, yaitu Maulana Hasanuddin dengan Permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nashr Abdul Kahhar atau Sultan Haji. Sementara di serambi kanan, terdapat makam Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin, Ratu Salamah, Ratu Latifah, dan Ratu Masmudah.
4. Vihara Avalokitesvara
Vihara ini merupakan salah satu Vihara tertua di Indonesia. Keberadaan Vihara ini diyakini merupakan bukti bahwa pada saat itu penganut Agama yang berbeda dapat hidup berdampingan dengan damai tanpa Konflik yang berarti.
Kondisi di dalam Vihara ini sendiri sejuk karena banyak pepohonan rindang dan terdapat tempat duduk yang nyaman untuk beristirahat. Selasar koridor Vihara yang menghubungkan bangunan satu dengan yang lainnya ini terdapat relief cerita hikayat Ular Putih, yang dilukis dengan berwarna-warni sebagai elemen estetis.
5. Benteng Speelwijk
Lokasinya tidak jauh dari Masjid Agung Banten, benteng ini dibangun sekitar tahun 1585 (menurut informasi lainnya tahun 1682). Dahulunya Benteng Speelwijk digunakan sebagai Menara Pemantau yang berhadapan langsung ke Selat Sunda dan sekaligus berfungsi sebagai penyimpanan meriam-meriam dan alat pertahanan lainnya. Di tempat ini juga terdapat sebuah Terowongan yang katanya terhubung dengan Keraton Surosowan.
6. Museum Kepurbakalaan Banten Lama
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama mempunyai luas tanah kurang lebih 10.000 m² dan bangunan kurang lebih 778 m². Dibangun dengan gaya arsitektur tradisional Jawa Barat seperti yang terlihat pada bentuk atapnya. Museum yang terletak antara Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten Lama ini menyimpan banyak benda-benda purbakala. Dilihat dari bentuk bangunannya Museum Situs Kepurbakalaan lebih mirip seperti sebuah rumah yang kemudian dialihfungsikan menjadi museum.
Dari sekian banyak benda-benda purbakala yang menjadi koleksinya, benda-benda tersebut dibagi menjadi 5 kelompok besar.
- Arkeologika, benda-benda yang digolongkan dalam kategori ini adalah Arca, Gerabah, Atap, Lesung Batu, dll.
- Numismatika, koleksi bendanya berupa Mata Uang, baik Mata Uang lokal maupun Mata Uang asing yang dicetak oleh masyarakat Banten.
- Etnografika, benda-benda koleksinya berupa miniatur Rumah Adat Suku Baduy dan berbagai macam Senjata Tradisional dan juga senjata peninggalan Kolonial seperti Tombak, Keris, Golok, Meriam, Pistol, dll.
- Keramologika, yaitu benda-benda koleksi berupa macam-macam Keramik. Keramik yang tersimpan berasal dari berbagai negara seperti Burma, Vietnam, Tiongkok, Jepang, Timur Tengah dan Eropa. Tidak ketinggalan pula keramik lokal asal Banten yang biasanya lebih dikenal dengan sebutan Gerabah dan biasanya gerabah ini digunakan sebagai alat-alat rumah tangga.
- Seni rupa, yang termasuk di dalamnya adalah benda-benda seni seperti Lukisan atau Sketsa. Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama ini menyimpan banyak koleksi lukisan tetapi hampir keseluruhannya adalah lukisan hasil reproduksi.
Selain menyimpan benda-benda koleksi kepurbakalaannya di dalam ruangan, terdapat dua Artefak yang disimpan di halaman Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama, yaitu artefak Meriam Ki Amuk dan juga alat penggilingan Lada. Yang paling terkenal adalah Meriam Ki Amuk, meriam yang terbuat dari tembaga dengan tulisan arab yang panjangnya sekitar 2,5 meter ini merupakan bantuan dari Ottoman, Turki. Konon Meriam Ki Amuk memiliki kembaran yaitu Meriam Ki Jagur yang saat ini tersimpan di halaman belakang Museum Fatahillah Jakarta. Sedangkan alat penggilingan lada yang terbuat dari batu padas yang sangat keras telah hancur menjadi beberapa bagian. Pada zaman dahulu Banten memang dikenal sebagai penghasil lada, itulah yang menyebabkan Belanda datang ke Banten, salah satunya ingin menguasai produksi lada.
7. Tasik Kardi
Danau ini terletak tidak jauh dari Istana Kaibon, Konon, danau tersebut luasnya 5 hektare dan bagian dasarnya dilapisi oleh batu bata, Pada masa itu danau ini dikenal dengan nama "Situ Kardi" yang memiliki sistem ganda, selain sebagai penampung air di Ci Banten yang digunakan sebagai pengairan persawahan, danau ini juga dimanfaatkan sebagai pasokan air bagi keluarga keraton dan masyarakat sekitarnya. Air dialirkan dari pipa-pipa yang terbuat dari terakota berdiameter 2–40 cm. Sebelum digunakan air danau harus disaring dan diendapkan di penyaringan khusus yang dikenal dengan Pengindelan Abang atau Penyaringan Merah, Pengindelan Putih atau Penyeringan Putih, dan Pengeindelan Emas atau Penyaringan Emas.
8. Meriam Ki Amuk
Meriam Ki Amuk adalah sebuah Meriam kuno milik Kesultanan Banten yang saat ini berada di depan Mesjid Agung Banten Provinsi Banten. Meriam Ki Amuk konon dulu dipergunakan untuk menjaga Pelabuhan Karanghantu yang berada di Teluk Banten.
Menurut legenda, Meriam Ki Amuk adalah penjelmaan Prajurit Kesultanan Demak yang dikutuk. Tetapi menurut versi sejarah, meriam ini dibuat di Jawa Tengah abad 16 sekitar tahun 1527 M, yang kemudian dihadiahkan kepada Sultan Hasanuddin dari Kesultanan Banten oleh Sultan Trenggono yang pada awalnya bernama Ki Jimat. Meriam Si Jagur yang di halaman Museum Fatahillah Jakarta adalah "kembaran" dari Meriam Ki Amuk.
Meriam Ki Amuk terbuat dari Perunggu dengan berat 7 ton, panjang 3 meter diameter luar terbesar 0,70 m, diameter dalam mulut 0,34 m. Ia menembakkan peluru meriam seberat 180 pon (81,6 kg).
Lambang Surya Majapahit dapat dilihat di mulutnya. Ada dua prasasti berhuruf Arab di meriam ini. Yang pertama berbunyi "Aqibah al-Khairi Salamah al-Imani" yang berarti "Buah dari segala kebaikan adalah kesempurnaan iman". Prasasti kedua berbunyi "La fata illa Ali la saifa illa Zu al-faqar, isbir ala ahwaliha la mauta" yang berarti "Tiada pemuda kecuali Ali, tiada pedang selain Zulfiqar, hendaklah engkau bertakwa sepanjang masa kecuali mati".
Meriam ini semula terletak di Karangantu, sebelum dipindahkan ke halaman museum sekarang, yang sempat ditempatkan di sudut tenggara alun-alun.
9. Masjid Pacinan Tinggi
Mesjid Pacinan Tinggi merupakan nama yang diberikan buat bangunan tempat ibadah yang dibangun di sekitar Pacinan, perkampungan penduduk Cina di Banten. Sebelum Sultan Hasanudin membangun Mesjid Agung Banten, ayahnya Syarif Hidayatullah pernah membangun sebuah mesjid di Pacinan pada abad XVI. Bangunan bersejarah itu kini tinggal bekas-bekas fondasi yang terbuat dari batu karang dan batu bata. Sebagian sisa bangunan yang masih utuh hanya mihrabnya atau tempat pengimaman mesjid. Letak Mesjid Pacinan berada di jalan antara Kelenteng Banten dengan Tasikardi.
Kondisi Mesjid Pacinan Tinggi, sungguh memprihatinkan,tidak terawat, kotor dan panas, sepintas rasanya jauh dari minat untuk dikunjungi,cuman tidak ada salahnya berhenti sebentar untuk mengetahui termasuk peninggalan sejarah Banten Lama.
Tak jauh disebelah kanan terdapat makam suami-istri yang berasal dari desa Yin-Shao dan batu nisan tersebut didirikan tahun 1843, mungkin keduanya pemuka agama (saat itu) sehingga dimakamkan didalam area mesjid.
Mesjid yang tinggal reruntuhan ini terletak di selatan jalan yang menghubungkan Speelwijk dengan Karangantu, dimana beberapa meter dari mesjid tersebut di sebelah selatannya kini terdapat jalan kereta api. Disebut Mesjid Koja karena dahulunya termasuk kompleks perkampungan orang-orang Koja, Persia. Menurut catatan orang Belanda, tempat tersebut pernah dihuni orang-orang yang datang dari India, Jepang, Cina dan lain-lain sebagai pedagang.
Kondisi Mesjid Pacinan Tinggi, sungguh memprihatinkan,tidak terawat, kotor dan panas, sepintas rasanya jauh dari minat untuk dikunjungi,cuman tidak ada salahnya berhenti sebentar untuk mengetahui termasuk peninggalan sejarah Banten Lama.
Tak jauh disebelah kanan terdapat makam suami-istri yang berasal dari desa Yin-Shao dan batu nisan tersebut didirikan tahun 1843, mungkin keduanya pemuka agama (saat itu) sehingga dimakamkan didalam area mesjid.
10. Masjid Koja
Mesjid yang tinggal reruntuhan ini terletak di selatan jalan yang menghubungkan Speelwijk dengan Karangantu, dimana beberapa meter dari mesjid tersebut di sebelah selatannya kini terdapat jalan kereta api. Disebut Mesjid Koja karena dahulunya termasuk kompleks perkampungan orang-orang Koja, Persia. Menurut catatan orang Belanda, tempat tersebut pernah dihuni orang-orang yang datang dari India, Jepang, Cina dan lain-lain sebagai pedagang.
Mesjid Koja salah satu mesjid yang pernah dibangun di sekitar komplek peninggalan purbakala Banten Lama. Mesjid ini dibangun di tengah perkampungan masyarakat keturunan Arab dan Persia. Letak masjid ini antara Benteng Speelwijk dan Karangantu. Kini bangunan tersebut sudah bubar dan rata dengan tanah. Tetapi sejarah mencatat bahwa di sekitar mesjid Koja dulu pernah tinggal bangsa India, Cina, Jepang, Arab, Persia yang datang sebagai pedagang.
Kerkhoff adalah sebuah tempat penguburan orang-orang Eropa yang terletak di bagian luar sisi tembok timur benteng. Disini dikuburkan orang-orang Belanda, Perancis, Inggris dan orang Eropa lainnya.
Kerkhoff memiliki bentuk jirat dan nisan yang berukuran besar. Komplek pemakaman Kerkhoff sekarang sudah tidak terawat. Di pemakanan ini terdapat sekitar 50 makam dengan berbagai ukuran dan tempat.
Kelenteng ini terletak di sebelah barat Benteng Speelwijk. Semula kelenteng ini terletak di Pecinan, dibangun oleh masyarakat Cina yang ada di Banten. Kapan bangunan ini dibuat tidak dapat diketahui dengan pasti, tapi menurut tradisi, kelenteng ini dibangun pada masa awal kerajaan Banten.
Menurut catatan Cortemunde (1659), kelenteng Cina (yang sekarang ini) menempati lahan loji Inggris, sementara itu, kelenteng lama sesuai dengan catatan Valentijn (1725) berlokasi di sebelah selatan menara lama (Mesjid Pacinan Tinggi).
Watu Gilang adalah sebuah batu berbentuk segi empat dengan permukaannya yang datar dan terbuat dari batu andesit. Batu tersebut terletak di sebelah timur laut meriam Ki Amuk. Menurut Babad Banten, batu ini dipergunakan sebagai tempat pengambilan sumpah para sultan atau penobatan raja.
Mesjid ini terletak di kampung Kenari ± 3 km ke arah selatan dari Mesjid Agung Banten. Mesjid ini adalah mesjid tua pening-galan Sultan Abul Mufachir Muchmud Abdul Kadir (1596-1651). Sultan pertama yang mendapat gelar “sultan” dari Mekah. Ia adalah putra Maulana Muhammad Pangeran ing Banten. Selain itu di tempat ini terdapat pula makam putranya, Sultan Abul Ma’ali Ahmad.
Jembatan Rante didirikan di atas air sungai/kanak Kota Lama Banten yang terletak 300 meter di sebelah utara benteng Surosowan, berfungsi sebagai “tol-perpajakan” bagi setiap kapal kecil atau perahu pengangkut barang dagangan pedagang asing yang memasuki kota kerajaan. Dari data pictorial, jelas telah tergambar sesaat Cornelis de Houtman melukis kota Banten pada tahun 1596. Bahkan tertulis pada Babad Banten, bahwa Maulana Yusuf, tahun 1570, telah banyak membangun fasilitas kota dengan segala macam kebutuhan untuk politik perdagangan.
Jembatan Rante dibangun dari bata dan karang serta diduga memakai tiang besi dan papan untuk fungsi penyeberangan serta memakai “kerekan rantai” sebagai fungsi ganda bilamana lalu-lalang kapal kecil, jembatan bisa dibuka; dan bila tidak ada kapal masuk, jembatan ditutup berfungsi sebagai penyeberangan orang dan kendaraan darat.
Sebagai data visual yang masih berfungsi hingga sekarang kita dapat melihat dan meneliti Jembatan Rante yang ada di Pasar Ikan, Jakarta.
Karangantu menjadi pelabuhan utama dan pasar, difungsikan sebagai pelabuhan dagang bagi lingkup lokal maupun asing. Kunjungan Tome Pires ke Karangantu tahun 1513 belum melihat pentingnya tempat ini, karena pelabuhan Sunda Kelapa masih merupakan pelabuhan terpenting bagi Pajajaran. Pada abad berikutnya Karangantu menjadi pelabuhan utama, sejak Banten diislamkan dan aktivitas Banten Girang dipindahkan ke Banten Lama. Sejak akhir abad XVI Karangantu menjadi bandar internasional utama untuk Indonesia bagian barat, terutama akibat jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.
Dari peta kuna yang dibuat oleh de Houtman ketika mengunjungi Banten pada tahun 1598, memperlihatkan bahwa kota Banten dikelilingi tembok kota dan tampak pula pasar Karangantu dikelilingi oleh pagar kayu dan bambu. Pada saat itu perluasan kota Banten mengarah ke bagian timur.
Sementara itu berdasarkan peta yang dibuat oleh Valentijn pada tahun 1725, terlihat bahwa pasar Karangantu masih ditempatnya semula dan mulai dipenuhi dengan rumah-rumah pemukiman.
Pelabuhan Karangantu berkembang dan tumbuh menjadi pusat berbagai aktivitas komersial dan bisnis, toko-toko dan pasar utama, transaksi antara para pedagang Cina dan Arab (terutama). Di sini pula terdapat pemukiman para nelayan, dok kapal-kapal, tempat pembuatan garam. Sementara itu terus ke arah selatan sepanjang sungai Cibanten terdapat lahan-lahan pertanian (padi dan sayur mayur) untuk pasokan istana.
Daftar Pustaka:
11. Kerkhoff
Kerkhoff adalah sebuah tempat penguburan orang-orang Eropa yang terletak di bagian luar sisi tembok timur benteng. Disini dikuburkan orang-orang Belanda, Perancis, Inggris dan orang Eropa lainnya.
Kerkhoff memiliki bentuk jirat dan nisan yang berukuran besar. Komplek pemakaman Kerkhoff sekarang sudah tidak terawat. Di pemakanan ini terdapat sekitar 50 makam dengan berbagai ukuran dan tempat.
12. Klenteng Cina
Kelenteng ini terletak di sebelah barat Benteng Speelwijk. Semula kelenteng ini terletak di Pecinan, dibangun oleh masyarakat Cina yang ada di Banten. Kapan bangunan ini dibuat tidak dapat diketahui dengan pasti, tapi menurut tradisi, kelenteng ini dibangun pada masa awal kerajaan Banten.
Menurut catatan Cortemunde (1659), kelenteng Cina (yang sekarang ini) menempati lahan loji Inggris, sementara itu, kelenteng lama sesuai dengan catatan Valentijn (1725) berlokasi di sebelah selatan menara lama (Mesjid Pacinan Tinggi).
13. Watu Gilang
Watu Gilang adalah sebuah batu berbentuk segi empat dengan permukaannya yang datar dan terbuat dari batu andesit. Batu tersebut terletak di sebelah timur laut meriam Ki Amuk. Menurut Babad Banten, batu ini dipergunakan sebagai tempat pengambilan sumpah para sultan atau penobatan raja.
14. Makam Kerabat Sultan
- Makam Pangeran Mandalika - Makam ini terletak di seberang kampung Kroya; Pangeran Mandalika adalah putra Sultan Hasanuddin, dari ibu yang bukan permaisuri.
- Makam Pangeran Mas - Terletak di kampung Pangkalan Nangka. Dia adalah seorang Pangeran dari Demak. Meninggal dan dimakamkan di Banten. Pintu gerbang menuju makam tersebut bergaya Holland Kuno. Di depan pintu gerbang terdapat makam Singajaya.
- Makam Maulana Yusuf - Terletak di sebelah timur jalan melewati rel kereta api tidak jauh dari kampung Kesunyatan, tepatnya di tengah sawah, yang dikenal kuburan Pekalangan. Sehingga setelah meninggalnya ia disebut Penembahan Pekalangan Gede.
- Makam Pangeran Astapati - Makam ini terletak di kampung Odel, yang dikelilingi oleh tembok berpagar besi. Pada pintu masuk sebelah selatan terlihat semacam bangunan ala Eropa yang sedikit ada perpaduan dengan motif Jawa kuno. Pangeran Astapati adalah salah seorang panglima perang Banten semasa pemerintahan Sultan Tirtayasa. Ia keturunan para pemimpin Baduy, di Kanekes, Banten Selatan, yang kemudian menikah dengan Ratu Dahlia, salah seorang putri sultan. Pangeran Astapati atau dikenal juga Pangeran Wirasuta ditugaskan untuk menggempur tentara kompeni Belanda di teluk Banten.
15. Masjid Agung Kenari
Mesjid ini terletak di kampung Kenari ± 3 km ke arah selatan dari Mesjid Agung Banten. Mesjid ini adalah mesjid tua pening-galan Sultan Abul Mufachir Muchmud Abdul Kadir (1596-1651). Sultan pertama yang mendapat gelar “sultan” dari Mekah. Ia adalah putra Maulana Muhammad Pangeran ing Banten. Selain itu di tempat ini terdapat pula makam putranya, Sultan Abul Ma’ali Ahmad.
16. Jembatan Rante
Jembatan Rante didirikan di atas air sungai/kanak Kota Lama Banten yang terletak 300 meter di sebelah utara benteng Surosowan, berfungsi sebagai “tol-perpajakan” bagi setiap kapal kecil atau perahu pengangkut barang dagangan pedagang asing yang memasuki kota kerajaan. Dari data pictorial, jelas telah tergambar sesaat Cornelis de Houtman melukis kota Banten pada tahun 1596. Bahkan tertulis pada Babad Banten, bahwa Maulana Yusuf, tahun 1570, telah banyak membangun fasilitas kota dengan segala macam kebutuhan untuk politik perdagangan.
Jembatan Rante dibangun dari bata dan karang serta diduga memakai tiang besi dan papan untuk fungsi penyeberangan serta memakai “kerekan rantai” sebagai fungsi ganda bilamana lalu-lalang kapal kecil, jembatan bisa dibuka; dan bila tidak ada kapal masuk, jembatan ditutup berfungsi sebagai penyeberangan orang dan kendaraan darat.
Sebagai data visual yang masih berfungsi hingga sekarang kita dapat melihat dan meneliti Jembatan Rante yang ada di Pasar Ikan, Jakarta.
17. Pasar dan Pelabuhan Karangantu
Karangantu menjadi pelabuhan utama dan pasar, difungsikan sebagai pelabuhan dagang bagi lingkup lokal maupun asing. Kunjungan Tome Pires ke Karangantu tahun 1513 belum melihat pentingnya tempat ini, karena pelabuhan Sunda Kelapa masih merupakan pelabuhan terpenting bagi Pajajaran. Pada abad berikutnya Karangantu menjadi pelabuhan utama, sejak Banten diislamkan dan aktivitas Banten Girang dipindahkan ke Banten Lama. Sejak akhir abad XVI Karangantu menjadi bandar internasional utama untuk Indonesia bagian barat, terutama akibat jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.
Dari peta kuna yang dibuat oleh de Houtman ketika mengunjungi Banten pada tahun 1598, memperlihatkan bahwa kota Banten dikelilingi tembok kota dan tampak pula pasar Karangantu dikelilingi oleh pagar kayu dan bambu. Pada saat itu perluasan kota Banten mengarah ke bagian timur.
Sementara itu berdasarkan peta yang dibuat oleh Valentijn pada tahun 1725, terlihat bahwa pasar Karangantu masih ditempatnya semula dan mulai dipenuhi dengan rumah-rumah pemukiman.
Pelabuhan Karangantu berkembang dan tumbuh menjadi pusat berbagai aktivitas komersial dan bisnis, toko-toko dan pasar utama, transaksi antara para pedagang Cina dan Arab (terutama). Di sini pula terdapat pemukiman para nelayan, dok kapal-kapal, tempat pembuatan garam. Sementara itu terus ke arah selatan sepanjang sungai Cibanten terdapat lahan-lahan pertanian (padi dan sayur mayur) untuk pasokan istana.
Daftar Pustaka:
- Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah nasional Indonesia: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2008.
- Lubis, Nina. Banten dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 2003.
- id.wikipedia.org