Nusa Tenggara Timur (disingkat NTT) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang meliputi bagian timur Kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi ini beribu kota di Kupang dan memiliki 22 kabupaten/kota. Provinsi ini berada di Sunda Kecil.
peninggalan sejarah ntt, benda peninggalan sejarah di ntt, peninggalan sejarah yang ada di kupang, tempat bersejarah di nusa tenggara timur, peninggalan sejarah di kota kupang, salah satu tempat bersejarah di pulau bali, pariwisata nusa tenggara timur, bahasa yang digunakan di nusa tenggara timur
Daftar Isi :
- Benteng Concordia
- Benteng None
- Danau Ranamese
- Gereja Katolik Paroki Kristus Raja Katedral Ende
- Gereja Tua Sikka
- Jembatan Selam
- Kampung Adat Bena
- Kampung Adat Tarung
- Kampung Adat Wogo
- Klenteng Siang Lay
- Liang Bua
- Masjid Airmata
- Masjid At-Taqwa Lerabaing
- Museum Daerah Nusa Tenggara Timur
- Percetakan Arnoldus Ende
- Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko
- Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu
- Situs Rumah Pengasingan Bung Karno
- Taman Nasional Kelimutu
- Taman Renungan Bung Karno
Benteng Concordia, Kupang-NTT |
Benteng itu dibangun dan diberi nama Lahayong. Namun, pada tahun 1642, VOC berhasil merebut benteng tersebut dari tangan Portugis dan mengambil alih pada tahun 1646.
Setelah itu, tepatnya pada tahun 1653, VOC pun mulai serius beraktivitas di Timor. Tanggal 2 Februari di tahun yang sama, Kapten Johan Burgers mulai membangun benteng baru di bekas benteng Lahayong. Benteng yang baru itu diberi nama Fort Concordia.
Sejak adanya benteng ini, Kupang langsung dijadikan sebagai pusat pemerintahan VOC di pulau Timor. Benteng ini juga dikenal dengan nama Maadu Lasi (midelkoop,1968). [sumber]
Benteng None, Timor Tengah Selatan - NTT |
Benteng None adalah benteng Raja Amanuban pada zaman kerajaan ratusan tahun silam yang letanknya sekitar sembilan belas kilo meter arah timur Kota Soe, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) atau sekitar satu kilo meter dari jalan trans Timor.
Secara Administrasi Benteng tradisional None berada di Desa Lelat, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten TTS, Provinsi NTT. Situs ini memiliki Luas Lahan : 80 m x 44 m.
Situs Benteng Tradisional None ini memiliki Latar Budaya “Tradisi Berlanjut” yang telah diwarisi dari jaman dahulu. Situs ini dimiliki oleh Masyarakat Adat Suku Tauho, dan di kelola oleh Bapak Kores Tauho. Benteng none berdiri sejak tahun 1820. Sudah mencapai sembilan generasi sampai saat ini.
Benteng none ini masih di lestarikan. Sejak sembilan generasi yang lalu, mereka selalu berperang tetapi perang bukan perang internasional melainkan perang antar suku lokal, yaitu: MOLLO – AMANUBAN – AMANATUN. [sumber]
Danau Ranamese, Manggarai Timur - NTT |
Danau Ranamese adalah sebuah danau di dataran tinggi Golo Loni, Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur yang memiliki panorama indah dan udara sejuk. Bukan hanya sekedar tempat wisata, danau ini juga menyimpan sejarah menarik di masa lampau.
Danau Ranamese terletak pada ketinggian 1.200 mdpl dan memiliki kedalaman sekitar 43 meter. Dengan luas sekitar 5 Ha, Danau Ranamese menjadi danau terbesar di Manggarai. Danau yang dikelilingi oleh hutan lebat dan subur ini menghadirkan hawa dingin, sejuk dan menyegarkan. Air danau yang sedingin es melengkapi nuansa dingin khas pegunungan.
Danau Ranamese berada di Rana Mese, Golo Loni, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Berada sekitar 25 kilometer dari Ruteng. Danau ini diapit oleh Gunung Mandosawu (2.400 mdpl) yang merupakan puncak tertinggi dalam pegunungan Ruteng dan Gunung Ranaka (2.140 mdpl) sebagai puncak tertinggi kedua.
Danau Ranamese terbentuk karena letusan gunung berapi Nampar Nos atau dikenal dengan Gunung Ranaka, yang diperkirakan terjadi sekitar 400 tahun yang lalu. Erupsi yang hebat itu mengakibatkan kawah yang ada di gunung api tertutup air membentuk danau, hingga bagian tepinya terlihat curam.
Kawasan Danau Ranamese banyak dihuni oleh burung Samyong (Pachycephala Nudigula) atau Ngklong yang merupakan burung endemik Nusa Tenggara dan dikenal dengan burung 1.001 kicauan. Selain itu terdapat juga burung kipasan Flores (Rhipidura Diluta), Anis Nusa Tenggara (Zoothera Dohertyl), dan puluhan burung lainnya. [sumber]
Danau ini terletak di Jalan Ruteng-Borong, Desa Golo Loni, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
4. Gereja Katolik Paroki Kristus Raja Katedral Ende [sumber] |
Katedral Kristus Raja/Katedral Ende adalah nama tempat ibadah berdenominasi Katolik yang terletak di kota Ende, Nusa Tenggara Timur. Gereja ini terletak di bagian selatan dari pulau Flores. Katedral ini merupakan gereja induk Keuskupan Agung Ende yang dimulai sebagai prefektur apostolik pada tahun 1913 dan diangkat untuk statusnya saat ini pada tahun 1961 oleh banteng "Quod Christus" Paus Yohanes XXIII. Gereja ini berada di bawah tanggung jawab pastoral Uskup Agung Vincentius Sensi Potokota.
Gereja yang memiliki luas lahan 4.625 m2 ini didirikan oleh Uskup Mgr. Verstraelen yang awalnya dimaksudkan sebagai tempat Katedral Keuskupan Sunda Kecil. Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan dengan upacara yang dipimpin oleh Mgr. Verstraelen pada tanggal 18 Mei 1930. Bangunan besar dan megah ini diselesaikan dalam waktu dua tahun dan ditasbihkan pada tanggal 7 Februari 1932 oleh Uskup Mgr. Verstraelen.
Gereja ini terletak di Jalan Katedral No. 5 Kelurahan Potulando, Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Gereja Tua Sikka [Beta NTT] |
Gereja ini dibuat oleh seorang pastor Portugis, JF. Lecocq D'armanddaville yang kemudian dilanjutkan oleh pastor Y. Engbers dan bekerja sama dengan raja Sikka Yoseph Mbako Ximenes Da Silva pada tahun 1899.
Arsitektur bangunan gereja ini bergaya Baroque, ebuah gaya arsitektur yang populer di eropa pada jaman itu. Ornamen - ornamen pada dinding tembok tergambar motif-motif tenun ikat tradisional masyarakat setempat. Konstruksi kayu dengan pewarnaan warna coklat dan kuning mendominasi pilar dan plafon. Di depan setelah pintu masuk gereja terdapat patung seorang pastor memegang alkitab dan kotak donasi. Untuk memasuki gereja ini, pengunjung diharapkan memberikan donasi untuk pemeliharaan gereja tua ini. [sumber]
jembatan Selam dilihat dari arah Selam [sumber] |
Jembatan Selam adalah sebuah jembatan yang menghubungkan Kupang di area pusat dan Kupang di bagian barat yang jaraknya tercipta akibat belahan kali Dendeng.
Daerah yang disebut Selam termasuk dalam wilayah kelurahan Fatufeto dan berbatasan dengan kelurahan Airmata. Wilayahnya mencakup daerah sekitar jembatan yang namanya Jembatan Selam.
Konon nama Selam bermula sejak jaman Belanda. Di sekitar area jembatan yang merupakan muara dari kali Dendeng, pemuda-pemuda jaman itu gemar berebut uang pemberian para awak kapal Belanda. Karena diberi dengan cara dilempar ke air tentu saja untuk mendapatkannya harus dengan menyelam. Dan ternyata para pemuda di sekitar lokasi sangat lihai menyelam. Saat seorang awak kapal melempar koin bernilai tertentu, lalau para pemuda segera menyerbu masuk ke dalam air untuk menggapainya.
Kegiatan selam menyelam dan kelihaian para penyelamnya diabadikan menjadi nama tempat tersebut. [Sumber]
Kampung Adat Bena, Ngada - NTT |
Kampung Bena adalah salah satu perkampungan megalitikum yang terletak di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Tepatnya di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, sekitar 19 km selatan Bajawa. Kampung yang terletak di puncak bukit dengan view gunung Inerie. Keberadaannya di bawah gunung merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung sebagai tempat para dewa. Menurut penduduk kampung ini, mereka meyakini keberadaan Yeta, dewa yang bersinggasana di gunung ini yang melindungi kampung mereka.
Kampung ini saat ini terdiri kurang lebih 40 buah rumah yang saling mengelilingi. Badan kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan. Pintu masuk kampung hanya dari utara. Sementara ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal.
Kampung ini sudah masuk dalam daerah tujuan wisata Kabupaten Ngada. Ternyata kampung ini menjadi langganan tetap wisatawan dari Jerman dan Italia.
Ditengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa bangunan yang mereka menyebutnya bhaga dan ngadhu. Bangunan bhaga bentuknya mirip pondok kecil (tanpa penghuni). Sementara ngadhu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat. (Wikipedia)
Kampung Adat Bena terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kampung Adat Tarung, Sumba Barat - NTT |
Kampung Tarung adalah sebuah komplek perkampungan yang terletak di tengah perkotaan Sumba Barat, dengan bangunan-bangunan rumah tradisional yang mengelilingi tinggalan-tinggalan megalitik yang berupa kubur-kubur batu dan dolmen.
Pola pemukiman masyarakat Kampung Tarung terdiri dari rumah-rumah yang diorganisir mengelilingi suatu ruang terbuka yang disebut Talora. Di dalam talora terdapat kubur batu, dolmen, meja altar, monument batu yang berfungsi untuk upacara-upacara adat. Rumah dengan status tertinggi selalu berhubungan dengan Talora dan terletak di posisi tanah yang terbaik, biasanya di posisi yang tertinggi.
Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Tarung berdasarkan pada kepercayaan Marapu. Kepercayaan Marapu masih dipegang hingga kini meskipun beberapa penduduk telah memeluk agama lain seperti Kristen dan Islam. Marapu dapat dijelaskan sebagai suatu sistem kepercayaan masyarakat yang mempercayai bahwa arwah nenek moyang atau leluhur yang telah meninggal tetap hidup ditengah-tengah mereka.
Kampung Adat Wogo, Ngada - NTT |
Desa Adat Wogo merupakan perkampungan dan desa adat masyarakat Wogo Lama. Desa adat Wogo terletak di desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Jarak dari Kota Bajawa ke Desa Adat Wogo adalah sekitar 16 km dengan waktu tempuh kurang lebih 25 menit. Pada saat ini, masyarakat Wogo telah pindah ke tempat baru yang terletak di sebelah barat dari desa adat Wogo dengan nama perkampungan Wogo Baru.
Kampung Wogo lama berada di lahan hamparan tanah dan lahan pertanian dan berbentuk segi empat memanjang dengan bangunannya berada di tengah-tengah, dan di sepanjang areal, menyebar dan tidak beraturan. Bangunan tersebut merupakan budaya megalit berupa hamparan bebatuan megalit yang masih tertata rapi. Hamparan batu ini merupakan kuburan nenek moyang. Selain itu, hamparan batu ini juga digunakan untuk upacara adat. Setiap bangunan memiliki artefak yang terdiri atas meja altar batu yang disebut Ture oleh masyarakat sekitar. Kemudian, terdapat serpihan-serpihan batu pada pinggir areal yang digunakan sebagai pembatas kampung. Untuk menjangkau objek wisata Wogo, pengunjung dapat menggunakan angkutan umum dengan rute Bajawa-Mataloko, menggunakan jasa travel atau jasa ojek.
Kampung Wogo baru merupakan rumah adat tradisional Ngada yang terbuat dari bahan kayu, ijuk, dan bambu. Di setiap rumah adat terdapat ukiran-ukiran khas Ngada. Di tengah-tengah kampung terdapat simbol kampung adat yang disebut Ngadhu dan Bhaga. Ngadhu merupakan simbol nenek moyang laki-laki dan digunakan sebagai tiang gantungan hewan kurban acara adat. Sementara itu bhaga adalah simbol nenek moyang perempuan yang merupakan miniatur rumah adat. [sumber]
Klenteng ini didirikan oleh Lay Foetlin dan Lay Lanfi. Kemudian dari tahun ke tahun mengalami perombakan karena berbagai hal. Klenteng ini sempat hancur pada saat Perang Dunia II, dibangun kembali pada tahun 1951. Renovasi dilakukan pada tahun 1970, 1973, dan 1975.
Bangunan tua yang berada di Kupang ini telah beralih fungsi dari tempat ibadah menjadi rumah abu dan juga dijadikan tempat tinggal bagi keluarga yang merawat klenteng tua tersebut.
Klenteng ini sekarang dijaga oleh keluarga Ferry Ngahu, 43 tahun. Pria yang aslinya dari pulau Sabu ini menikahi Yunni Layandri (Lay Yung Cing) yang keluarganya memiliki klenteng tersebut. Aa dan keluarga istrinya yang merawat klenteng itu. Mereka tinggal di rumah sebelahnya yang berhubungan dengan klenteng. [sumber]
Liang Bua, Manggarai - NTT |
Ukuran Liang Bua mencapai 50 meter untuk panjang, 40 meter untuk lebar, dan 25 meter untuk tinggi. Para arkeolog memulai proyek penggalian pada tahun 1930, tepatnya pada masa kolonial Belanda dan masih berlanjut hingga kini. Hasil penelitian yang dilakukan para arkeolog menyebutkan bahwa usia Liang Bua mencapai 190.000 tahun. Di zaman dahulu, Liang Bua mempunyai fungsi sebagai hunian manusia prasejarah dimulai dari zaman Batu (Paleotikum), zaman Batu Madya (Mesolitikum), zaman Batu Muda (Nesolitikum), hingga zaman Logam Awal (Paleometalikum). Kini, Liang Bua mempunyai fungsi sebagai tempat penelitian oleh para arkeolog baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Penemuan yang menarik dari gua ini adalah tengkorak kuno dari manusia Flores (Homo Floresiensis). Di kedalaman enam meter, tengkorak ini berbentuk manusia pendek dengan tinggi badan 100 cm dan berat 25 kilogram, yang berasal dari 18.000 tahun yang lalu. Selain itu, di kedalaman 10,7 meter terdapat penemuan rangka binatang seperti kadal, kura-kura, dan gajah purba. [sumber]
Masjid Agung Al-Baitul Qadim / Airmata, Kupang - NTT |
Masjid Agung Al-Baitul Qadim Airmata, terletak di Kelurahan Air Mata, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sejak didirikan, masjid ini telah mengalami berpindah tempat/lokasi sebanyak tiga kali sejak dibangun tahun 1806 dengan ukuran yang tetap yakni 10 x 10 m persegi. Masjid Airmata pertama kali dibangun di kota Kupang sekarang, di Kelurahan Oeba.
Masjid ini merupakan pusat semua kegiatan agama Islam pada awal mulanya. Untuk pertama kali, shalat Jumat dilaksanakan tahun 1812. Artinya, setidaknya masjid itu selesai dibangun tahun itu. Masjid pertama yang berlokasi di Pantai Besi itu, namun berpindah karena digusur oleh Belanda.
Pertapakan masjid itu akan dipergunakan membangun gedung telegrafis Belanda. Kaum muslim di Oeba dan sekitar itu memindahkan masjid ini ke arah baratnya, sekitar muara Sungai Kupang yang lahannya menjadi Kanwil Departemen Perdagangan Kupang di Jalan Soekarno.
Masjid ini berpindah lagi ke tempat lain karena lahan untuk penjara tidak ada maka di bekas masjid itu didirikan penjara atau lembaga pemasyarakatan (istilah sekarang).
Menurut Belanda, letak masjid itu tidak sesuai dalam tata kota masa itu maka terpaksa pindah-gusur lagi, dari sini (bangunan Penjara Kupang) ke tempat lain yang harus pindah menyeberangi sungai, ke sebuah lembah yang biasanya memiliki mata air yang banyak. Sesudah ber-pindah-gusur beberapa kali, barulah masjid itu berada dan berdiri anggun di tempatnya yang sekarang, yang diberi nama oleh masyarakat setempat dengan nama Masjid Air Mata.
Masjid yang sekarang diberi nama Baitul Qodim atau Masjid Air Mata, dibangun oleh moyang (nenek) Sya’ban bersama tiga orang moyang lainnya, yaitu Moyang Syamsuddin, Moyang Arkiang, dar Moyang Barkat.
Bahan-bahan bangunannya seperti pasir diambil dari tepi panti , kemudian dicuci dengan air tawar, sedangkan semennya dari kapur yang dibuat sendiri (dibakar sendiri). Bahkan, perekatnya, pereka: “semen” kapur itu digunakan gula pasir atau kalau kurang digarit: dengan air nira (air pohon enau yang disadap di tangkai bunganya).
Kayu tidak sepotong pun berasal dari Kupang sendiri, tetapi secara bergotong-royong dicari masyarakat Islam ke pulau-pulau sekitarnya atau dihanyutkan dari hulu sungai. [sumber]
Masjid At-Taqwa, Alor - NTT |
Masjid At-Taqwa Lerabaing merupakan tempat Ibadah Umat Islam yang terletak di Desa Wakapsir, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Masjid ini letaknya dekat laut yang berbentuk rumah panggung. Berusia ratusan tahun dan strukturnya (kecuali atap) masih asli hingga sekarang. Beberapa tiang kakinya miring, tapi masjid ini masih kokoh berdiri.
Masjid ini dibangun tahun 1633 Maseh moleh Sultan Kima Gogo dan Raya Kinanggi Atamalei. Konstruksi masjid ini waktu pertamakali dibangun sederhana bersusun dua dan berbahan kayu. Masjid ini masih memikiki peninggalan Sultan, antara lain : 4 buah tongkat, 2 buah Rotan, 3 kitab Al-Quran, 2 bilah Pisau, 1 bilah pisau khitan, 2 buah piring, 2 buah Cangkir, 1 buah meriam, 1 buah dacing, dan 1 buah jangkar.
Bangunan Mesjid berbentuk rumah panggung dengan ukuran 11 M; Lebar 11 M dan tinggidari tanah ke lantai mesjid 1,5 M, tinggi keseluruhan Mesjid 15 M dengan luas tanah 750 M memiliki 24 tiang, tangga pintu terbuat dari kayu, atap bertingkat dari seng. Halaman mesjid dikelilingi dengan pagar besi dan memiliki satu pintu masuk. Mesjid tua Lerabaing berbentuk rumah panggung didirikan atas inisiatif orang-orang tua di kampung Lerabaing dan Sultan Kimie desa Gogo yang berasal dari Ternate (Maluku).
Museum daerah NTT [Kemendikbud] |
Museum Daerah Nusa Tenggara Timur adalah sebuah museum provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terletak di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Terletak di Jalan Raya Eltari II. Museum ini didirikan pada 1977. Melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 9 Januari 1991, museum ini ditetapkan sebagai Museum Negeri dan menjadi UPT. Dengan terbentuknya otonomi daerah maka status Museum Negeri berubah menjadi Museum Daerah Nusa Tenggara Timur. Saat ini museum bertanggung jawab kepada Pemerintah Provinsi NTT dan bernaung di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT
Museum ini terletak di Jalan Frans Seda, Kelurahan Oebobo, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Museum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur didirikan pada 1977/1978.
Percetakan Arnoldus Ende, NTT |
Pada tahun 1926, Pater Petrus mendatangkan sejumlah mesin cetak dari Jerman. Biarawan setempat diberdayakan mengurusi seluruh aktivitas di percetakan, mulai dari proses pracetak, pemasangan pelat cetak, pencetakan, penjilidan buku, hingga distribusi buku. Cetakan pertama dikerjakan pada 21 Juni 1926 berupa buku doa yang disusun dalam bahasa Melayu berjudul Sende Aus yang berarti 'utuslah'.
Perusahaan dikelola oleh Serikat Sabda Allah, sebuah perkumpulan religius dan misionaris Katolik yang dikenal dengan Societas Verbi Divini (SVD). Sejumlah karya tokoh-tokoh sastra Nusantara juga dicetak dan diterbitkan di sana, seperti Gerson Poyk, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Pamusuk Eneste, dan Arswendo Atmowiloto. [sumber]
Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko [Pellokila Penjelajah] |
Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko dibangun pada tahun 1932 sebagai rumah tempat tinggal para misionaris SVD di Mataloko. Bangunan ini didirikan selang tiga tahun berdirinya bangunan Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu yang berada di depannya. Kedua bangunan tersebut ada keterkaitannya dalam pembangunannya. Seminari berfungsi untuk bangunan sekolah atau aktivitas belajar mengajar, sedangkan Rumah Retret digunakan untuk rumah tinggal para frater yang mengajar di seminari, dan sekaligus sebagai tempat untuk melakukan pertemuan atau diskusi di kalangan para frater tersebut.
Rumah Retret ini adalah milik Kongregasi Serikat Sabda Allah. Dalam bahasa Latin, Serikat Sabda Allah ini dikenal dengan Societas Verbi Divini (SVD), yaitu salah satu ordo Gereja Katolik Roma yang didirikan pada tahun 1875 di Steyl, Belanda oleh Santo Arnoldus Janssen. SVD ini melakukan pekabaran injil di wilayah Flores, salah satunya adalah di daerah Kabupaten Ngada ini.
Bangunan rumah retret ini dulu pernah menjadi tempat sementara pendidikan calon imam sebelum dipindahkan ke Ledalero pada tahun 1937. Pada tahun 1943, Jepang menduduki Seminari Tinggi Ledalero. Karena semua pater-profesor berkebangsaan Belanda diinternir, maka para frater mahasiswa filsafat dan teologi dipindahkan ke Mataloko. [Situs Budaya]
Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu [SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu] |
Bangunan ini dibangun tahun 1929, atau tiga tahun sebelum Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko yang berada di depannya dibangun. Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu berfungsi untuk bangunan sekolah atau aktivitas belajar mengajar.
Situs Rumah Pengasingan Bung Karno [Kemendikbud] |
Situs Rumah Pengasingan Bung Karno adalah sebuah bangunan yang beralamat di Jl. Perwira, Kel. Kotaraja, Ende Utara, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende memiliki luas 742,6 m² (23,5 m x 31,6 m) dan dibangun diatas lahan seluas 110,4 m² (11,5 m x 9,6 m). Bangunan utama terdiri atas ruang tamu, tengah, dan tiga kamar tidur. Dapur dan kamar mandi berada di bagian belakang dan terpisah dari bangunan utama. Di halaman belakang rumah terdapat sebuah sumur yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan air. Rumah bergaya tradisional ini di desain sederhana, menghadap ke arah timur (Jalan Perwira), lantai dari plesteran semen, berdinding tembok, dan beratapkan seng dengan langit-langit dari anyaman bambu. Dinding bagian depan terdapat dua jendela dan di atas kedua jendela tersebut terdapat markis. Di dalam Rumah Pengasingan Ir. Soekarno di Ende masih disimpan benda-benda yang pernah dipakai oleh Ir. Soekarno dan keluarganya, antara lain ranjang besi dan lemari di kamar tidur; biola, tongkat, lampu minyak dan lampu tekan, setrika, peralatan makan dan peralatan memasak.
Bangunan ini menjadi tempat pengasingan Bung Karno setelah beliau ditangkap sesaat setelah pertemuan politik di rumah Muhammad Husni Thamrin di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 1933. Kemudian dipenjarakan selama delapan bulan tanpa proses pengadilan.
Pada tanggal 28 Desember 1933, Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, De Jonge, mengeluarkan surat keputusan pengasingan Ir. Soekarno yang saat itu berusia 32 tahun ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Ir. Soekarno diasingkan atau dibuang ke Ende karena kegiatan politiknya membahayakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ir. Soekarno dan keluarganya bertolak dari Surabaya menuju Flores dengan kapal barang KM van Riebeeck.
Setelah berlayar selama delapan hari, mereka tiba di Pelabuhan Ende dan langsung melaporkan kedatangannya ke kantor polisi. Mereka lalu dibawa ke rumah pengasingan yang terletak di Kampung Ambugaga, Kelurahan Kotaraja. Di rumah pengasingan inilah Ir. Soekarno berserta istrinya (Inggit Garnasih), mertuanya (Ibu Amsi), dan kedua anak angkatnya (Ratna Juami dan Kartika) menghabiskan waktu mereka selama empat tahun. Ir. Soekarno dan keluarganya menempati rumah milik Haji Abdullah Ambuwaru. [Kemendikbud]
Danau Tiga Warna di Gunung Kelimutu (Foto: blog.mamikos.com) |
Di dalam Taman Nasional Kelimutu, terdapat arboretum, hutan kecil seluas 4,5 hektare yang mewakili koleksi keanekaragaman flora di daerah tersebut. Di sana terdapat 78 jenis pohon yang dikelompokkan ke dalam 36 suku. Beberapa koleksi flora yang merupakan endemik Kelimutu adalah uta onga (Begonia kelimutuensis), turuwara (Rhododendron renschianum), dan arngoni (Vaccinium varingiaefolium). Argoni yang berbunga kecil putih dan akan berubah menjadi hitam ketika matang, diyakini masyarakat setempat sebagai makanan para dewa. (Wikipedia)
Secara administratif lokasinya berada di 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Detsuko, Kecamatan Wolowaru, dan Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Taman Renungan Bung Karno [http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/] |
Taman renungan Bung Karno yang terletak di Jalan Soekarno, Kelurahan Kota Ratu, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dikatakan sebagai tempah lahirnya Pancasila. Bung Karno merenungkan gagasannya di wilayah Indonesia Timur tersebut.
Taman ini terletak di sekitar lokasi rumah pengasingan Bung Karno di Ende. Tempat ini dimanfaatkan Bung Karno untuk merenung. Tepatnya di bawah sebuah pohon sukun. Renungannya membuahkan hasil, Pancasila. Saat ini taman dikenal dengan Taman Renungan Bung Karno. Juga dikenal Taman Renungan Pancasila.
Di taman ini terdapat patung Bung Karno, patung tersebut diibaratkan seperti dirinya yang sedang duduk termenung di bawah pohon sukun bercabang lima. Patung memiliki pose seperti sedang menatap ke arah laut. Sementara taman disebut sebagai Taman Renungan Bung Karno, pohon sukun disebut sebagai Pohon Pancasila.