Peninggalan Sejarah Provinsi Lampung
Lampung adalah sebuah provinsi paling selatan di Pulau Sumatera, Indonesia, Ibukotanya terletak di Bandar Lampung. Provinsi ini memilki 2 Kota dan 13 Kabupaten. Kota yang dimaksud adalah Kota Bandar Lampung dan Kota Metro. Disebelah utara berbatasan dengan Bengkulu dan Sumatera Selatan.
Berikut ini beberapa Peninggalan Sejarah Provinsi Lampung:
1. Bangunan Dinas Kesehatan
Bangunan Dinas kesehatan ini terletak dijalan Dr. Susilo no.44, dengan luas bangunan1145 m2. batas persil bangunan adalah: sebelah Utara berbatas dengan Jalan Dr. Susilo, sebelah Selatan berbatas dengan lereng Tirta Sari, sebelah Barat berbatas dengan Jalan Way Besai, sebelah Timur berbatas dengan jalan Kesehatan.
Gedung yang dibangun tahun 1954 ini dipakai tahun 1958, nama pemiliknya Komando Pemberantas Malaria ( KOPEM ) atas prakarsa DEPKES pada pemerintah Indonesia tahun 1958.
Orientasi bangunan mengarah ke Timur jalan Kesehatan. Untuk denah bangunan empat persegi panjang digabung membentuk huruf E. langgam bangunan berkesan kokoh, monumental, kesan yang dimunculkan oleh bangunan tersebut.bentuk atap limasan.
2. Batu Kepapang
Batu Kepapang adalah sebuah situs yang terletak di Pekon Kenali, Kecamatan Belalau. Situs ini berada di belakang SDN 1 Kenali. Pagar semen mengelilingi areal situs yang ditumbuhi tanaman cokelat, pisang, dan berbagai tanaman kebun. Situs ini terletak di tanah penyimbang (sai batin dalam bahasa setempat).
Di sini terdapat sebuah marmer bertuliskan "Situs Batu Kepapang" yang ditandatangani Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. Marmer ini ditempel di pagar tembok yang baru dibuat. Menurut warga, situs ini nyaris terbengkalai. Baru dipagar setelah diberi bantuan Gubernur Rp5 juta.
Ada dua riwayat Batu Kepapang. Pertama, cerita yang menyatakan kalau situs ini peninggalan masyarakat Tumi yang merupakan nenek moyang orang Lampung yang tinggal di Kerajaan Skalabrak.
Kisah kedua, Batu Kepapang digunakan pada zaman kemerdekaan untuk mengadili atau memotong orang-orang. Namun, kisah ini tidak begitu dikenal masyarakat. Masih diragukan kebenarannya.
3. Buay pernong
Buay Pernong adalah sebuah rumah adat yang indah di Way Pernong, sebelum Liwa. Rumah ini terletak di sisi sebelan kanan jalan menuju Liwa. Rumah adat ini dimiliki keturunan Buay Pernong.
Sebagian rumah adat ini masih asli, beberapa bagian yang direnovasi karena rusak saat gempa 1993 lalu. Di sini terdapat meriam besar buatan zaman Belanda yang berasal dari Krui. Selain itu, banyak benda kuno seperti lemari dan kursi.
Di belakang rumah adat ini terdapat makam Raja Selalau ketiga dan penerusnya. Di atas batu-batu yang menutupi makam, terdapat berbagai tanda berbentuk seperti binatang atau lambang tertentu.
Selain makam Raja Selalau, di dekat areal makam juga terdapat semacam benteng tanah berbentuk parit sedalam 1,5 - 3 meter. Benteng ini mengingatkan pada benteng parit yang terdapat di situs Pugungraharjo. Sayangnya, benteng parit ini belum dipugar instansi terkait atau diteliti lebih lanjut.
4. Gedong Aer
Gedong Aer adalah sebuah menara dan bangunan yang dijadikan sebagai tempat penampungan cadangan air. Didirikan pada Abad ke-18. Lokasinya sendiri berada di Jl. Imam Bonjol, Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung.
Saat itu, tepatnya 1827 Pemerintah Belanda yang merasa perlu memenuhi kebutuhan logistik di Lampung, merasa perlu untuk membuat sebuah menara dan bangunan yang bisa dijadikan sebagai tampungan cadangan air yang merupakan kebutuhan primer.
Setelah Belanda hengkang dari Indonesia dan digantikan Jepang, bangunan ini juga turut difungsikan sebagai pemasok air utama. hingga saat ini bangunan ini juga masih bisa berfungsi hingga dapat dikelola oleh PDAM.
5. Gedung Daswati
Gedung Daswati adalah sebuah rumah yang terletak di Jalan Tulang Bawang No 11 Enggal. Daswati merupakan akronim (kepanjangan) dari Daerah Swantra Tingkat I yang juga berarti sebagai daerah otonom.
Rumah ini dulunya milik Kolonel Achmad Ibrahim. Pernah menjadi kantor Front Nasional (FN), organisasi massa yang dibentuk Bung Karno sebagai bagian dari pemerintah untuk membangun republik paska perang kemerdekaan.
Daswati I merupakan cikal bakal pemerintahan provinsi. Daswati I Lampung yang baru melepaskan diri dari Daswati I Sumatera Selatan baru memiliki Daerah Tingkat II Lampung Utara, Lampung Tengah, Lampung Selatan, dan Kotapraja Tanjungkarang-Telukbetung (embrio Kota Bandar Lampung).
Upacara serah terima penyerahan kewenangan pemerintah Daerah Swatantra Tingkat (Daswati) I Sumatera Selatan kepada Daswati I Lampun berlangsung pada tanggal 18 Maret 1964.
6. Istana Skala Brak
Sekala Brak (Baca: Sekala Bekhak) adalah sebuah kerajaan yang bercirikan Hindu dan dikenal dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu. Diriwayatkan setelah kedatangan Empat Umpu dari Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam, Kerajaan Skala Brak Hindu kemudian berubah menjadi Kepaksian Sekala Brak, terletak di kaki Gunung Pesagi (gunung tertinggi di Lampung).
Dikutipn dari situs Melayu Online, Kerajaan Skala Brak (Sekala Beghak) berdiri di Lampung sekitar abad ke-3 Masehi dengan pemimpinnya bernama Raja Buay Tumi (William Marsden, 2008). Nama Raja Buay Tumi diyakini sebagai pemimpin Suku Tumi, yakni salah satu bangsa pertama yang menempati tanah Lampung dan kemudian membangun peradaban di Skala Brak. Lokasi Kerajaan Skala Brak terletak di lereng Gunung Pesagi, Belalau, di sebelah selatan Danau Ranau, sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung.
Keberadaan Kerajaan Skala Brak dianggap sebagai simbol peradaban, kebudayaan, dan eksistensi orang Lampung. Penyebutan Lampung sendiri berasal dari kata Anjak Lambung yang artinya menunjukkan tempat yang tinggi, yakni lereng Gunung Pesagi, gunung tertinggi di Lampung (Diandra Natakembahang, 2005). Keterangan ini merujuk bahwa sejarah orang Lampung sangat berkaitan dengan Skala Brak yang terletak di lereng Gunung Pesagi.
7. Masjid Al-Anwar
Masjid Al Anwar merupakan tempat beribadah orang Islam yang tercatat sebagai masjid tertua di lampung, didirikan oleh Daeng Sulaiman, seorang warga Lampung keturunan suku Bugis pada tahun 1888 silam.
Masjid Al Anwar dibangun di atas tanah seluas 6000 meter, terletak di Jalan Laksamana Malahayati No. 100, Kangkung, Teluk Betung Selatan, Pesawahan, Tlk. Betung Sel., Kota Bandar Lampung, Lampung.
Akibat letusan Gunung Krakatau, Masjid Al Anwar sempat rusak, namun bangunan ini kembali dibangun dan sampai saat ini masih digunakan bahkan kemudian berkembang menjadi pusat pengkajian filsafat ilmu Islam. Pada masa perjuangan kemerdekaan, masjid ini berperan sebagai basis perlawanan rakyat ketika Belanda menduduki Lampung.
8. Monumen peringatan meletusnya gunung krakatau
Monumen peringatan meletusnya gunung krakatau ini berupa sebuah rambu laut seberat setengah ton yang terlempar akibat gelombang pasang / tsunami setinggi 30 m yang ditimbulkan oleh letusan gunung krakatau tahun 1883. Kala itu tempat / taman tersebut merupakan bagian dari lokasi kantor residen lampung. 2 pohon beringin dan ambon menaungi monumen tersebut dengan latar belakang suasana pusat kota Telukbetung.
Monumen peringatan meletusnya gunung krakatau terletak di jl. W.r. supratman telukbetung menempati lokasi taman (taman dipangga).
9. Museum Lampung
Museum Negeri Lampung atau Museum Lampung, adalah sebuah museum yang terletak di Kota Bandar Lampung, provinsi Lampung, Indonesia. Beralamat di Jalan ZA Pagar Alam No.64 Bandar Lampung.
Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di provinsi Lampung dan merupakan kebanggaan masyarakat provinsi Lampung.
Letak museum ini cukup strategis sebab tak jauh dari pusat kota Bandar Lampung, yakni hanya 15 menit perjalanan.
Pembangunan Museum Lampung telah dimulai tahun 1975 dan peletakan batu pertama dilaksanakan tahun 1978. Akan tetapi, peresmiannya baru dilaksanakan pada 24 September 1988 dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Prof. Dr. Fuad Hasan. Peresmian tersebut bertepatan dengan peringatan Hari Aksara Internasional yang dipusatkan di PKOR Way Halim.
Ruwa Jurai yang diabadikan sebagai nama museum ini diambil dari tulisan Sai Bumi Ruwa Jurai dalam logo resmi Provinsi Lampung diresmikan penggunaannya sejak 1 April 1990. Memasuki era otonomi daerah, museum ini beralih status menjadi UPTD di bawah Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
10. Penjagalan / Rumah Potong Hewan (RPH)
Gedung ini dulunya adalah tempat pemotongan sapi dan Babi, dibangun pada tahun 1927, Pemilik awal bangunan adalah Pemerintah Hindia Belanda yaitu Dinas Kehewanan kemudian di ambil alih Pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945-an. Saat ini bangunan tersebut dibawah kewenangan Dinas Peternakan Kota Bandar Lampung. Bangunan terletak di jalan Dr. Warsito 53, dengan luas bangunan 556 m2 Kondisi fisik bangunan mengalami kerusakan sebagian kecil misalnya kaca jendela pecah, daun pintu tidak dapat dibuka akibat karat dimakan usia. Lantai dan warna dasar bangunan buram namun secara keseluruhan Fisik bangunan tidak berubah.
11. Prasasti Batu Bedil
Prasasti Batu Bedil diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-10 M yang ditemukan di Pulau Panggung.
Prasasti Batu Bedil terletak di Dusun Batu Bedil, Desa Gunung Meraksa, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus.
Prasasti Batu Bedil dituliskan pada sebongkah batu yang berukuran tinggi ± 157 cm dan lebar 72 cm. Prasasti terdiri atas 10 baris dengan tinggi huruf sekitar ± 5 cm. Tulisan tersebut berada dalam satu bingkai. Pada bagian bawah bingkai terdapat goresan membentuk padma atau bunga teratai. Kondisi huruf sudah aus namun pada beberapa bagian masih bisa terbaca. Pada baris pertama terbaca Namo Bhagawate dan pada baris kesepuluh terbaca Swâhâ. Namo Bhagawate sebagai permulaan dan Swâhâ sebagai penutup memberi dugaan bahwa prasasti itu berkaitan dengan mantra. Bahasa yang digunakan adalah Sansekerta. Prasasti ini tidak berangka tahun. Berdasarkan paleografisnya menunjukkan bahwa prasasti ini berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10. Selain tinggalan berupa prasasti, di Kompleks Prasasti Batu Bedil juga terdapat beberapa batu tegak.
12. Prasasti Bungkuk
Prasasti bungkuk ditemukan di Desa Bungkuk, Kecamatan Marga Tiga, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung pada 8 Maret 1985. Prasasti ini ditemukan oleh seorang warga yang sedang memancing di pinggir Way Batanghari yang melintas di Desa Bungkuk.
Prasasti ini dipahatkan pada batu andesit, dengan memiliki ukuran tinggi 63 cm, tebal 63 cm, diameter atas 70 cm, dan diameter bawah 61 cm. Keadaannya sudah aus sehingga tidak dapat terbaca dengan lengkap. Prasasti ini terdiri dari 13 baris beraksara Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno.
Dari tulisan yang masih jelas dan dibaca oleh Boechari dan Hasan Djafar, diketahui bahwa prasasti ini berisi mengenai sumpah dan kutukan bagi mereka yang tidak tunduk dan berbuat jahat kepada Sriwijaya.
Berdasarkan paleografinya, prasasti ini diperkirakan berasal dari akhir abad ke-7 M, dan saat ini prasasti aslinya berada di Rumah Informasi Taman Purbakala Pugungraharjo yang terletak di Desa Pugungraharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Sedangkan, di Museum Lampung juga terdapat replikanya yang dibuat pada tahun 1999 dengan No. Inventaris 3613.
13. Prasasti Dadak / Bataran Guru Tuha
Prasasti Dadak ditemukan di Dusun Dadak Desa Tebing Kecamatan Perwakilan Melintang Lampung Timur pada tahun 1994. Prasasti ditulis dalam 14 baris tulisan, terdapat pula tulisan-tulisan singkat dari gambar-gambar yang digoreskan memenuhi seluruh permukaan batu. Bentuk seperti balok berukuran 42cm x 11cm x 9cm.
Tulisan yang digunakan mirip dengan tulisan Jawa Kuno akhir dari abad ke 15 dengan Bahasa Melayu yang tidak terlalu Kuno (Bahasa Melayu Madya). Prasasti Dadak/Bataran Guru Tuha merupakan peninggalan abad ke-15.
14. Prasasti Hujunglangit/ Bawang
Prasasti Hujung Langit, yang dikenal juga dengan nama Prasasti Bawang, adalah sebuah prasasti batu yang ditemukan di desa Haur Kuning, Lampung, Indonesia. Aksara yang digunakan di prasasti ini adalah Pallawa dengan bahasa Melayu Kuno. Tulisan pada prasasti ini sudah sangat aus, namun masih teridentifikasi angka tahunnya 919 Saka atau 997 Masehi. Isi prasasti diperkirakan merupakan pemberian tanah sima.
15. Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Palas Pasemah adalah sebuah prasasti pada batu peninggalan Sriwijaya, ditemukan di Palas Pasemah, di tepi Way (Sungai) Pisang, Lampung. Ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno sebanyak 13 baris. Meskipun tidak berangka tahun, namun dari bentuk aksaranya diperkirakan prasasti itu berasal dari akhir abad ke-7 Masehi. Isinya mengenai kutukan bagi orang-orang yang tidak tunduk kepada Sriwijaya. Prasasti Palas Pasemah memiliki ukuran tinggi = 64 cm; lebar = 75 cm; dan tebal = 20 cm.
Taranskripsi prasasti: 1). Siddha kita hamwn wari awai. Kandra kayet ni pai hu[mpa an]; 2). nahuma ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi[nunu paiihumapa]; 3). anhankairu muah. Kayet nihumpa unai tunai. Unmeteng[bahkti ni ulun]; 4). haraki unai tunai. Kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana mangra[ksa yang kedatuan]; 5). di sriwijaya. [kita tui tandrun luah wanakata dewata mula yang parsumpaha[n pawaris. kada]; 6). ci urang di dalangna bhumi ajnana kadatuanku ini parawis. Drohaka wanu [n. samawuddhi la]; 7). wan drohaka. Manujari drohaka. Niujari drohaka. tahu din drohaka [Tida ya marpadah]; 8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan di yang nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni]; 9). Suruh tapik mulang parwwa [dnan da] tu sriwijaya talu muah ya dnan gotra santanana. Tathapi sa [wana]; 10). kna yang wuatna jahat maka lanit urang maka sakit maka gila mantraganda wisaprayoga upuh tua ta [mwal sa]; 11). ramwat kasihan wasikarana ityewarnadi janan muwah ya siddha pulang ka ya muwah yang dosana wu [a]; 12). tna jahat inan. Ini grang kadaci ya bhakti tatwa arjjwa di yaku dnan di yang nigalarkku sanyasa datua santi muah; 13). wuattana dnan gotra santanana smarddha swastha niroga niru padrawa subhiksa muah yang wanuana parawis.
16. Prasasti Tanjung Raya I
Prasasti ini ditemukan pada tahun 1970 di Desa Tanjung Raya I, Kecamatan Sukau Lampung Barat. Berbentuk lonjong berukuran panjang 237 cm, lebar di bagian tengah 180 cm dan tebal 45 cm. Prasasti dituliskan pada bagian permukaan batu yang keadaannya sudah aus dan rusak, terdiri dari 8 baris dan sulit dibaca namun masih dapat dikenal sebagai huruf Jawa Kuno dari abad ke 10. Pada bagian atas terdapat sebuah gambar berupa sebuah bejana dengan tepian yang melengkung keluar sehelai daun. Mengingat sulitnya pembacaan prasasti ini maka isinya belum diketahui.
17. Prasasti Ulubelu
Prasasti Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan peninggalan Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Kotaagung, Lampung pada tahun 1936. Prasasti Ulubelu saat ini disimpan di Museum Nasional, dengan nomor inventaris D.154.
Prasasti Ulubelu digoreskan pada batu alam (kecil). Aksara yang tertulis pada prasasti Ulubelu sangat tipis dan kecil, keadaan aksaranya juga sangat aus serta rusak. Batu pada bagian tengah patah, namun masih memperlihatkan gaya dan bentuk menyerupai aksara Sunda Kuno.
Prasasti dipahatkan pada sebuah batu kecil berukuran 36 x 12,5 cm, terdapat 6 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno.Prasasti dipahatkan pada sebuah batu kecil berukuran 36 x 12,5 cm, terdapat 6 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno.
Isi prasasti berupa mantra permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama, yaitu Batara Guru (Siwa), Brahma, dan Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari semua musuh.
18. Rumah Milik Japffa Comfeed
Bangunan ini ditempati oleh Orang Belanda sebagai tempat tinggal pada masa Kolonial Belanda, didirikan pada tahun 1927 sebagai milik pribadi dan pada tahun 1990–an dibeli oleh perusahaan PT Japffa Comfeed Lampung sebagai pemilik bangunan sampai saat ini. Bangunan tersebut sampai sekarang tetap dipergunakan sebagai tempat tinggal para karyawan PT Japffa Comfeed. Perencanaan dan pembangunan dikerjakan oleh orang Belanda pada waktu itu dengan konsep konstruksi Ferosement. Rumah tinggal ini terletak dijalan Pattimura No. 5 yang luas bangunannya 180 m2.
Bentuk denah bangunan segi empat, dengan langgam mengikuti Tropis, yang dipadu detail interior gaya Kolonial Bngunan berbentuk limasan.
19. Taman Purbakala Pugung Raharjo
Situs Purbakala Pugung Raharjo atau sering disebut Taman Purbakala Pugung Raharjo merupakan situs arkeologi yang terletak di Desa Pugung Raharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Tenggara, Provinsi Lampung, Indonesia.
Ditemukan pada tahun 1957, situs ini menjadi salah satu situs peninggalan sejarah yang cukup berharga. Situs arkeologi seluas 30 hektar ini merupakan peninggalan zaman Hindu dan Budha. Di dalamnya terdapat Punden Berundak, Arca, Prasasti, Batu Mayat atau Batu Kandang, Altar Batu, Batu Berlubang, Benteng Parit Primitif sepanjang 1,2 kilometer, dan Dolmen. Selain itu, beberapa keramik peninggalan dinasti Han, Sung, dan Ming masih bisa ditemukan di taman purbakala ini.
Lokasi tempat situs berada sekarang dikelola sebagai Taman Purbakala Pugung Raharjo, terletak sekitar 52 km arah timur dari Kota Bandar Lampung.
Sumber:
Berikut ini beberapa Peninggalan Sejarah Provinsi Lampung:
- Bangunan Dinas Kesehatan
- Batu Kepapang di Kenali
- Buay Pernong
- Gedong Aer
- Gedung Daswati
- Istana Skala Brak
- Masjid al-Anwar
- Monumen peringatan meletusnya gunung krakatau
- Museum Lampung
- Penjagalan Hewan
- Prasasti Batu Bedil (akhir abad ke 9 atau 10)
- Prasasti Bungkuk (akhir abad ke 7)
- Prasasti Dadak / Bataran Guru Tuha (abad ke 15)
- Prasasti Hujunglangit/ Bawang (akhir abad ke 10)
- Prasasti Palas Pasemah (akhir abad ke 7)
- Prasasti Tanjung Raya I (sekitar abad ke 10)
- Prasasti Ulubelu (abad ke 14)
- Rumah Milik Japffa Comfeed
- Taman Purbakala Pugung Raharjo
1. Bangunan Dinas Kesehatan
Bangunan dinas kesehatan Lampung |
Orientasi bangunan mengarah ke Timur jalan Kesehatan. Untuk denah bangunan empat persegi panjang digabung membentuk huruf E. langgam bangunan berkesan kokoh, monumental, kesan yang dimunculkan oleh bangunan tersebut.bentuk atap limasan.
2. Batu Kepapang
Batu Kepapang adalah sebuah situs yang terletak di Pekon Kenali, Kecamatan Belalau. Situs ini berada di belakang SDN 1 Kenali. Pagar semen mengelilingi areal situs yang ditumbuhi tanaman cokelat, pisang, dan berbagai tanaman kebun. Situs ini terletak di tanah penyimbang (sai batin dalam bahasa setempat).
Di sini terdapat sebuah marmer bertuliskan "Situs Batu Kepapang" yang ditandatangani Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. Marmer ini ditempel di pagar tembok yang baru dibuat. Menurut warga, situs ini nyaris terbengkalai. Baru dipagar setelah diberi bantuan Gubernur Rp5 juta.
Ada dua riwayat Batu Kepapang. Pertama, cerita yang menyatakan kalau situs ini peninggalan masyarakat Tumi yang merupakan nenek moyang orang Lampung yang tinggal di Kerajaan Skalabrak.
Kisah kedua, Batu Kepapang digunakan pada zaman kemerdekaan untuk mengadili atau memotong orang-orang. Namun, kisah ini tidak begitu dikenal masyarakat. Masih diragukan kebenarannya.
3. Buay pernong
Lamban gedung buay pernong |
Sebagian rumah adat ini masih asli, beberapa bagian yang direnovasi karena rusak saat gempa 1993 lalu. Di sini terdapat meriam besar buatan zaman Belanda yang berasal dari Krui. Selain itu, banyak benda kuno seperti lemari dan kursi.
Di belakang rumah adat ini terdapat makam Raja Selalau ketiga dan penerusnya. Di atas batu-batu yang menutupi makam, terdapat berbagai tanda berbentuk seperti binatang atau lambang tertentu.
Selain makam Raja Selalau, di dekat areal makam juga terdapat semacam benteng tanah berbentuk parit sedalam 1,5 - 3 meter. Benteng ini mengingatkan pada benteng parit yang terdapat di situs Pugungraharjo. Sayangnya, benteng parit ini belum dipugar instansi terkait atau diteliti lebih lanjut.
4. Gedong Aer
Gedong Aer |
Saat itu, tepatnya 1827 Pemerintah Belanda yang merasa perlu memenuhi kebutuhan logistik di Lampung, merasa perlu untuk membuat sebuah menara dan bangunan yang bisa dijadikan sebagai tampungan cadangan air yang merupakan kebutuhan primer.
Setelah Belanda hengkang dari Indonesia dan digantikan Jepang, bangunan ini juga turut difungsikan sebagai pemasok air utama. hingga saat ini bangunan ini juga masih bisa berfungsi hingga dapat dikelola oleh PDAM.
5. Gedung Daswati
Gedung Daswati |
Rumah ini dulunya milik Kolonel Achmad Ibrahim. Pernah menjadi kantor Front Nasional (FN), organisasi massa yang dibentuk Bung Karno sebagai bagian dari pemerintah untuk membangun republik paska perang kemerdekaan.
Daswati I merupakan cikal bakal pemerintahan provinsi. Daswati I Lampung yang baru melepaskan diri dari Daswati I Sumatera Selatan baru memiliki Daerah Tingkat II Lampung Utara, Lampung Tengah, Lampung Selatan, dan Kotapraja Tanjungkarang-Telukbetung (embrio Kota Bandar Lampung).
Upacara serah terima penyerahan kewenangan pemerintah Daerah Swatantra Tingkat (Daswati) I Sumatera Selatan kepada Daswati I Lampun berlangsung pada tanggal 18 Maret 1964.
6. Istana Skala Brak
Sultan Kepaksian Sekala Brak, dari kiri : Sultan Kepaksian Nyerupa, Sultan Kepaksian Bejalan Diway, Sultan Kepaksian Pernong, dan Sultan Kepaksian Belunguh |
Dikutipn dari situs Melayu Online, Kerajaan Skala Brak (Sekala Beghak) berdiri di Lampung sekitar abad ke-3 Masehi dengan pemimpinnya bernama Raja Buay Tumi (William Marsden, 2008). Nama Raja Buay Tumi diyakini sebagai pemimpin Suku Tumi, yakni salah satu bangsa pertama yang menempati tanah Lampung dan kemudian membangun peradaban di Skala Brak. Lokasi Kerajaan Skala Brak terletak di lereng Gunung Pesagi, Belalau, di sebelah selatan Danau Ranau, sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung.
Keberadaan Kerajaan Skala Brak dianggap sebagai simbol peradaban, kebudayaan, dan eksistensi orang Lampung. Penyebutan Lampung sendiri berasal dari kata Anjak Lambung yang artinya menunjukkan tempat yang tinggi, yakni lereng Gunung Pesagi, gunung tertinggi di Lampung (Diandra Natakembahang, 2005). Keterangan ini merujuk bahwa sejarah orang Lampung sangat berkaitan dengan Skala Brak yang terletak di lereng Gunung Pesagi.
7. Masjid Al-Anwar
Masjid Al-Anwar |
Masjid Al Anwar dibangun di atas tanah seluas 6000 meter, terletak di Jalan Laksamana Malahayati No. 100, Kangkung, Teluk Betung Selatan, Pesawahan, Tlk. Betung Sel., Kota Bandar Lampung, Lampung.
Akibat letusan Gunung Krakatau, Masjid Al Anwar sempat rusak, namun bangunan ini kembali dibangun dan sampai saat ini masih digunakan bahkan kemudian berkembang menjadi pusat pengkajian filsafat ilmu Islam. Pada masa perjuangan kemerdekaan, masjid ini berperan sebagai basis perlawanan rakyat ketika Belanda menduduki Lampung.
8. Monumen peringatan meletusnya gunung krakatau
Monumen peringatan meletusnya gunung krakatau |
Monumen peringatan meletusnya gunung krakatau terletak di jl. W.r. supratman telukbetung menempati lokasi taman (taman dipangga).
9. Museum Lampung
Museum Lampung |
Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di provinsi Lampung dan merupakan kebanggaan masyarakat provinsi Lampung.
Letak museum ini cukup strategis sebab tak jauh dari pusat kota Bandar Lampung, yakni hanya 15 menit perjalanan.
Pembangunan Museum Lampung telah dimulai tahun 1975 dan peletakan batu pertama dilaksanakan tahun 1978. Akan tetapi, peresmiannya baru dilaksanakan pada 24 September 1988 dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Prof. Dr. Fuad Hasan. Peresmian tersebut bertepatan dengan peringatan Hari Aksara Internasional yang dipusatkan di PKOR Way Halim.
Ruwa Jurai yang diabadikan sebagai nama museum ini diambil dari tulisan Sai Bumi Ruwa Jurai dalam logo resmi Provinsi Lampung diresmikan penggunaannya sejak 1 April 1990. Memasuki era otonomi daerah, museum ini beralih status menjadi UPTD di bawah Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
10. Penjagalan / Rumah Potong Hewan (RPH)
Penjagalan / Rumah Potong Hewan (RPH) |
11. Prasasti Batu Bedil
Kiri: Prasasti Batu Bedil, Kanan: Prasasti Batu Tegak |
Prasasti Batu Bedil terletak di Dusun Batu Bedil, Desa Gunung Meraksa, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus.
Prasasti Batu Bedil dituliskan pada sebongkah batu yang berukuran tinggi ± 157 cm dan lebar 72 cm. Prasasti terdiri atas 10 baris dengan tinggi huruf sekitar ± 5 cm. Tulisan tersebut berada dalam satu bingkai. Pada bagian bawah bingkai terdapat goresan membentuk padma atau bunga teratai. Kondisi huruf sudah aus namun pada beberapa bagian masih bisa terbaca. Pada baris pertama terbaca Namo Bhagawate dan pada baris kesepuluh terbaca Swâhâ. Namo Bhagawate sebagai permulaan dan Swâhâ sebagai penutup memberi dugaan bahwa prasasti itu berkaitan dengan mantra. Bahasa yang digunakan adalah Sansekerta. Prasasti ini tidak berangka tahun. Berdasarkan paleografisnya menunjukkan bahwa prasasti ini berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10. Selain tinggalan berupa prasasti, di Kompleks Prasasti Batu Bedil juga terdapat beberapa batu tegak.
12. Prasasti Bungkuk
Prasasti Bungkuk |
Prasasti ini dipahatkan pada batu andesit, dengan memiliki ukuran tinggi 63 cm, tebal 63 cm, diameter atas 70 cm, dan diameter bawah 61 cm. Keadaannya sudah aus sehingga tidak dapat terbaca dengan lengkap. Prasasti ini terdiri dari 13 baris beraksara Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno.
Dari tulisan yang masih jelas dan dibaca oleh Boechari dan Hasan Djafar, diketahui bahwa prasasti ini berisi mengenai sumpah dan kutukan bagi mereka yang tidak tunduk dan berbuat jahat kepada Sriwijaya.
Berdasarkan paleografinya, prasasti ini diperkirakan berasal dari akhir abad ke-7 M, dan saat ini prasasti aslinya berada di Rumah Informasi Taman Purbakala Pugungraharjo yang terletak di Desa Pugungraharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Sedangkan, di Museum Lampung juga terdapat replikanya yang dibuat pada tahun 1999 dengan No. Inventaris 3613.
13. Prasasti Dadak / Bataran Guru Tuha
Transkip Prasasti Dadak akhir abad ke-14. Ditulis di media batu menggunakan Aksara Lampung. [Koleksi Museum Negeri Provinsi Lampung.] |
Tulisan yang digunakan mirip dengan tulisan Jawa Kuno akhir dari abad ke 15 dengan Bahasa Melayu yang tidak terlalu Kuno (Bahasa Melayu Madya). Prasasti Dadak/Bataran Guru Tuha merupakan peninggalan abad ke-15.
14. Prasasti Hujunglangit/ Bawang
Prasasti Hujung Langit |
15. Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Palas Pasemah |
Taranskripsi prasasti: 1). Siddha kita hamwn wari awai. Kandra kayet ni pai hu[mpa an]; 2). nahuma ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi[nunu paiihumapa]; 3). anhankairu muah. Kayet nihumpa unai tunai. Unmeteng[bahkti ni ulun]; 4). haraki unai tunai. Kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana mangra[ksa yang kedatuan]; 5). di sriwijaya. [kita tui tandrun luah wanakata dewata mula yang parsumpaha[n pawaris. kada]; 6). ci urang di dalangna bhumi ajnana kadatuanku ini parawis. Drohaka wanu [n. samawuddhi la]; 7). wan drohaka. Manujari drohaka. Niujari drohaka. tahu din drohaka [Tida ya marpadah]; 8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan di yang nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni]; 9). Suruh tapik mulang parwwa [dnan da] tu sriwijaya talu muah ya dnan gotra santanana. Tathapi sa [wana]; 10). kna yang wuatna jahat maka lanit urang maka sakit maka gila mantraganda wisaprayoga upuh tua ta [mwal sa]; 11). ramwat kasihan wasikarana ityewarnadi janan muwah ya siddha pulang ka ya muwah yang dosana wu [a]; 12). tna jahat inan. Ini grang kadaci ya bhakti tatwa arjjwa di yaku dnan di yang nigalarkku sanyasa datua santi muah; 13). wuattana dnan gotra santanana smarddha swastha niroga niru padrawa subhiksa muah yang wanuana parawis.
16. Prasasti Tanjung Raya I
Prasasti Tanjung Raya I |
17. Prasasti Ulubelu
Prasasti Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan peninggalan Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Kotaagung, Lampung pada tahun 1936. Prasasti Ulubelu saat ini disimpan di Museum Nasional, dengan nomor inventaris D.154.
Prasasti Ulubelu digoreskan pada batu alam (kecil). Aksara yang tertulis pada prasasti Ulubelu sangat tipis dan kecil, keadaan aksaranya juga sangat aus serta rusak. Batu pada bagian tengah patah, namun masih memperlihatkan gaya dan bentuk menyerupai aksara Sunda Kuno.
Prasasti dipahatkan pada sebuah batu kecil berukuran 36 x 12,5 cm, terdapat 6 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno.Prasasti dipahatkan pada sebuah batu kecil berukuran 36 x 12,5 cm, terdapat 6 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno.
Isi prasasti berupa mantra permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama, yaitu Batara Guru (Siwa), Brahma, dan Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari semua musuh.
18. Rumah Milik Japffa Comfeed
Rumah Milik Japffa Comfeed |
Bentuk denah bangunan segi empat, dengan langgam mengikuti Tropis, yang dipadu detail interior gaya Kolonial Bngunan berbentuk limasan.
19. Taman Purbakala Pugung Raharjo
Taman Purbakala Pugung Raharjo |
Ditemukan pada tahun 1957, situs ini menjadi salah satu situs peninggalan sejarah yang cukup berharga. Situs arkeologi seluas 30 hektar ini merupakan peninggalan zaman Hindu dan Budha. Di dalamnya terdapat Punden Berundak, Arca, Prasasti, Batu Mayat atau Batu Kandang, Altar Batu, Batu Berlubang, Benteng Parit Primitif sepanjang 1,2 kilometer, dan Dolmen. Selain itu, beberapa keramik peninggalan dinasti Han, Sung, dan Ming masih bisa ditemukan di taman purbakala ini.
Lokasi tempat situs berada sekarang dikelola sebagai Taman Purbakala Pugung Raharjo, terletak sekitar 52 km arah timur dari Kota Bandar Lampung.
Sumber:
- http://sitiramlahsejarah.blogspot.co.id/
- http://www.berkuliah.com/2014/08/8-bangunan-bersejarah-di-lampung.html
- https://dananwahyu.com/2010/04/09/bangunan-bersejarah/
- https://sikamala.com/2010/11/25/prasasti-prasasti-yang-ada-di-lampung/
- http://mylampung3.blogspot.co.id/2012/12/tempat-bersejarah-di-lampung-barat.html
- http://sanak-lambar.blogspot.co.id/2008/08/tempat-bersejarah-di-lampung-barat.html
- http://travelingl.blogspot.co.id/2015/01/sejarah-di-sudut-lampung-yang-terlupa.html
- http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/2015/06/18/kompleks-prasasti-batu-bedil-tanggamus-lampung/
- http://kekunaan.blogspot.co.id/2013/05/prasasti-bungkuk.html
- https://sikamala.com/prasasti-prasasti-yang-ada-di-lampung