Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)

Sulawesi Selatan (disingkat Sulsel) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan Sulawesi. Ibu kotanya adalah Makassar. Sekitar 30.000 tahun silam pulau ini telah dihuni oleh manusia. Penemuan tertua ditemukan di gua-gua dekat bukit kapur dekat Maros, sekitar 30 km sebelah timur laut dan Makassar sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Kemungkinan lapisan budaya yang tua berupa alat batu Pebble dan flake telah dikumpulkan dari teras sungai di lembah Walanae, diantara Soppeng dan Sengkang, termasuk tulang-tulang babi raksasa dan gajah-gajah yang telah punah.

Pada sekitar abad ke-14 di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah kerajaan kecil, dua kerajaan yang menonjol ketika itu adalah Kerajaan Gowa yang berada di sekitar Makassar dan Kerajaan Bugis yang berada di Bone. Perusahaan dagang Belanda atau yang lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang datang ke wilayah ini pada abad ke-15. Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, Sulawesi Selatan, terdiri atas sejumlah wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan mendiami empat etnis yaitu: Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.

Ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas yaitu Luwu, Gowa dan Bone, yang pada abad ke XVI dan XVII mencapai kejayaannya dan telah melakukan hubungan dagang serta persahabatan dengan bangsa Eropa, India, China, Melayu dan Arab.


Daftar isi:

  1. Batu Pallantikan
  2. Benteng Fort Rotterdam
  3. Benteng Somba Opu
  4. Gedung Kesenian Makassar
  5. Gedung Pengadilan Negeri Makassar
  6. Gedung Mulo
  7. Istana Tamalate
  8. Makam Raja-raja Tallo
  9. Masjid Babul Firdaus
  10. Masjid Gantarang Lalang Bata
  11. Masjid Palopo
  12. Masjid Tua Al-Hilal Katangkao
  13. Museum Balla Lompoa
  14. Museum Kota Makassar
  15. Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat
  16. Monumen Korban 40.000 Jiwa
  17. Rumah Jabatan (Rujab) Gubernur


1. Batu Pallantikan

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Batu Pallantikan atau Batu Tamalate di Bukit Tamalate, Katangka Kabupaten Gowa [sumber]

Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang) merupakan batu alami tanpa pembentukan, terdiri dari satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. 

Letaknya berada di dalam kompleks makam Raja-raja Gowa. Dulu Batu Pallantikan disebut Baru Tumanurung. Disebut Batu Pallantikan karena di tempat ini konon sebagai tempat ritual pelantikan raja-raja Gowa.

Di dalam kompleks makam raja-raja, salah satu Pahlawan Nasional, yakni Sultan Hasanuddin dikebumikan. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 yang sangat terkenal dengan keberaniannya melawan kolonial Belanda yang bercokol di Sulawesi Selatan. Ia dijuluki oleh penjajah Belanda sebagai Ayam Jantan dari Timur.

Sultan Hasanuddin lahir pada tahun 1629 dan diangkat menjadi Raja Gowa selama 17 tahun hingga tahun 1669. Diusia 41 tahun, pada tahun 1670, Sultan Hasanuddin wafat.


2. Benteng Fort Rotterdam

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Kompleks Fort Rotterdam, Juli 2008 [Wikipedia]

Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan tepatnya di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Ujungpandang, Kota Madya Ujungpandang. L.uas keseluhruhan areanya 21.252 meter persegi dan terdiri atas 15 bangunan.

Benteng ini dibangun oleh Raja Gowa IX pada tahun 1545, Manriogau Daeng Banto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng, sebagai benteng pertahanan pendamping kerajaan Gowa.

Semula benteng berisi bangunan rumah Makassar dengan tiang-tiang kayu yang tinggi. Benteng yang pada mulanya dibuat dari tanah liat ini mempunyai model tak ubahnya benteng-benteng Eropa abad ke-26 dan ke-17. Bentuk dasar benteng segi empat dan berarsitektur Portugis. Tonjolan-tonjolan tambahan pada model dasar segi empat melahirkan bentuk benteng yang menyerupai penyu. Bentuk penyu berhubungan dengan simbolisme kekuatan etnis Makassar, jaya di laut dan di darat, seperti halnya seekor penyu. Justru itu, naskah Lontarak menyebut benteng Penyua' (benteng penyu).

Area benteng ini seluas 2,5 hektar berdinding tertinggi 7 meter dan terendah 5 meter dengan ketebalan 2 meter, kemudian mengalami penyempurnaan, Di tahun 1635 Masehi, pada masa pemerintah Ian Sultan Alauddin, raja Gowa keempat belas, dinding benteng yang terbuat dari tanah liat diberi lapisan batu berbentuk segi empat dengan variasi ukuran berbeda.

Fungsi benteng Ujungpandang pada saat itu adalah benteng pengawal benteng induk, Somba Opu. Pada masa pendudukan Jepang (1942), benteng ini dijadikan pusat penelitian ilmiah bidang Bahasa dan pertanian. Setelah kemerdekaan Indonesia benteng Ujungpandang menjadi tempat penampungan Belanda dan pengikutnya.

Pada tanggal 21 April 1977, benteng Ujungpandang menjadi monumen sejarah yang dilindungi dan dijadikan Pusat Kebudayaan Sulawesi Selatan. [sumber]


3. Benteng Somba Opu

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Benteng Somba Opu di Gowa. [Wikipedia] 

Benteng Somba Opu adalah benteng peninggalan Kesultanan Gowa yang dibangun oleh Raja Gowa ke-9 Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna pada abad ke-16. Benteng ini terletak di Jalan Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Denah benteng berbentuk persegi empat. Ukuran panjang salah satu sisi ± 2 km. Sisa bangunan yang masih baik dan dapat memperlihatkan denah asli benteng terdapat pada bagian sisi barat. Rekonstruksi sisi barat benteng dapat diketahui bahwa benteng dibangun dari bahan batu bata dengan ukuran yang bervariasi serta sedikit batu pasir, terutama pada bagian pintu sebelah dalam. Tinggi tembok 7-8 meter, dengan ketebalan dinding rata-rata 12 kaki atau 300 cm. Ada empat bastion, tetapi yang tersisa dan direkonstruksi oleh SPSP Ujungpandang hanya I buah bastion.

Menurut sejarahnya, Benteng Somba Opu merupakan benteng induk yang berfungsi sebagai pusat pertahanan utama dan pusat pemerintahan kerajaan Gowa-Tallo. Dibangun atas perintah Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi Tumaparisi Kallonna. 

Pada masanya tempat ini pernah menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan di mana rempah-rempah yang diperjualbelikan untuk beberapa pedagang baik dari Asia, sekitar Indonesia dan wilayah Eropa. Sayangnya tempat yang sering dikunjungi oleh beberapa masyarakat lokal dan internasional ini telah dikuasai oleh VOC pada tahun 1669, kemudian dihancurkan hingga terendam oleh ombak pasang. 

Pada tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali oleh beberapa ilmuwan yang datang ke tempat itu. Pada tahun 1990 benteng ini telah direkonstruksi sehingga terlihat lebih baik lagi. Pada saat ini pun Benteng Somba Opu telah menjadi sebuah objek wisata bersejarah karena di dalamnya terdapat beberapa bangunan rumah adat Sulawesi Selatan. Tidak hanya itu saja, tempat ini juga memiliki sebuah meriam dengan panjang 9 meter dan berat sekitar 9.500 kilogram, serta ada sebuah museum yang berisi benda- benda bersejarah peninggalan Kesultanan Gowa. [sumber: Wikipedia, BIS]


4. Gedung Kesenian Makassar

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Gedung kesenian Makassar [sumber: Celebes Media]

Gedung Kesenian Makassar atau yang dikenal dengan nama Societeit de Harmonie, adalah bangunan yag terletak Jl. Riburane No.15, Pattunuang, Kec. Wajo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90174

Gedung ini dibangun pada tahun 1896 oleh pemerintah kolonial belanda dengan gaya arsitektur Neo Klasik, dengan luas bangunan diatas tanah seluas 2.339 m2 dengan bentuk denah seperti huruf “L” dan dilengkapi dengan sebuah menara dengan atap berbentuk kubah.

Dahulu bangunan ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan akan tempat pertemuan, perkumpulan, pesta, pertunjukan sandiwara, musik dan acara resmi lainnya yang dihadiri oleh tamu-tamu dpenting dan petinggi belanda

Gedung dengan nuansa arsitektur Eropa abad XIX ini, dulunya merupakan tempat bertemu bagi perkumpulan dagang dari Belanda pada masa Kolonial. Namun pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), tempat ini kemudian dipakai sebagai pertujukan seni.


5. Gedung Pengadilan Negeri Makassar

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Gedung Pengadilan Negeri Makassar

Gedung Pengadilan Negeri Makassar adalah bangunan yang berada di Kantor Pengadilan Negeri Makassar berada di jalan R.A.Kartini Nomor 18/23, Kelurahan Baru, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Bangunan yang bergaya arsitektur Neo Clasik Eropa campuran, Renaissance dan Romawi ini awalnya seluas 48,40 m x 44,90 m.

Menurut catatan sejarah, bangunan ini didirikan pada tahun 1915 dengan nama Raad van Justitia. Dahulu bangunan ini menghadap tiga jalan, yaitu Juliana Weg di utara (sekarang jalan Kartini), Hospital Weg di timur (sekarang jalan Sudirman), dan Justitia Laan di selatan (Sekarang Jalan Ammanagappa) (Asmunandar, 2008).

Ciri khas dari PN Makassar yang masih terlihat hingga saat ini adalah bangunan bergaya eropa klasik yang masih terlihat sama semenjak pertama kali di bangun pada tahun 1915. Ciri khas klasik itu juga menonjol pada lekukan-lekukan daun pintu dengan cat putih dan pilar-pilar di bangunan utama yang masih kokoh. 


6. Gedung Mulo

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Gedung MULO Makassar [Budaya Kita]

Gedung MULO adalah sebuah gedung berarsitek Eropa klasik di pusat Kota Makassar. Gedung Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dulunya sebuah sekolah bagi anak-anak Pribumi yang orangtuanya bekerja untuk pemerintahan kolonial. Salah satu perkampungan Belanda di Makassar yang cukup terkenal adalah kawasan gedung MULO yang didirikan pada tahun 1927.

Lokasinya berada di Jalan Jenderal Sudirman, Makassar, dan berseberangan jalan dengan rumah jabatan Gubernur Sulsel, atau berada di sisi Jalan Sungai Saddang dan Jalan Batu Putih. Bangunan ini dibuka pertama kali 1920.

Alumni lembaga ini pendidikan menengah ini tidak dipersiapkan untuk menuju pendidikan tinggi, melainkan hanya sampai pada sekolah kejuruan. Lulusan yang bisa masuk Sekolah MULO adalah lulusan HIS dan VVS dengan persyaratan tambahan.

Salah satu tokoh pejuang Makassar yang sempat mengeyam pendidikan di MULO adalah Andi Mattalatta. [Sumber]


7. Istana Tamalate

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Istana Tamalate [Sumber]

Istana Tamalate berada di sekitar makam raja-raja Gowa seperti Raja Gowa XV I Mannuntungi Daeng Mattola yang bergelar Sultan Malikussaid dan Putra Mahkotanya I Mallombasi Daeng Mattawang yang kita kenal bergelar Sultan Hasanuddin Raja Gowa XVI dan lain-lainnya. Tempat itu pula diberi nama “Bukit Tamalate”. Setelah Sultan Hasanuddin memperoleh penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, maka kompleks makam raja-raja tersebut dinyatakan sebagai Kompleks Makam Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin.

Untuk pengembangan dan pelestarian sejarah serta budaya para leluhur kita dimasa silam, maka Pemda Tingkat II Gowa yang diprakarsai oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gowa Bapak H.Syahrul Yasin Limpo, SH telah membangun duplikat dan mengabadikan nama Istana Tamalate sebagai bukti dari kepedulian terhadap nilai-nilai luhur budaya kepada generasi mendatang agar tidak terlupakan sekaligus sebagia motivasi jiwa dan semangat kharisma budaya bangsa yang tidak ternilai di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Semoga dengan arsitektur budaya Kerajaan Gowa pada masa lalu yang terpateri dalam kandungan pendirian Istana Tamalate yang kini berdiri dengan megahnya berdampingan dengan museum Balla Lompoa di kota Sungguminasa yang merupakan pusat pelaksanaan roda pemerintahan Gowa Bersejarah sebagai daerah otonomi, menjadikan Gowa benar-benar nampak sebagai daerah bekas kerajaan yang besar di Wilayah Timur Indonesia. (Sumber)


8. Makam Raja-raja Tallo

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Kompleks Makam Raja-raja Tallo [indonesiakaya.com]

Komples Makam Raja-raja Tallo adalah tempat dimakamkannya kumpulan keluarga petinggi raja-raja kerajaan Tallo. Kompleks Makam raja-raja Tallo berada kota madya Makassar kecamatan Tallo, kelurahan Tallo terletak dengan ketinggian dari permukaan air laut 8 meter. Makam raja-raja Tallo ini dulunya adalah bukit kecil di tepi laut dan sungai, yang sekarang terdapat banyak penduduk yang mendiami di tempat tersebut. Di dalam kompleks makam tersebut, terdapat 81 buah makam dalam keadaan utuh maupun yang sudah rusak.

Adapun raja-raja petinggi dan kerajaan Tallo yang dimakam adalah  Raja Tallo ke-7 (1598-1641), Raja Tallo ke-9 , Raja Tallo ke-12 (1770-1778), Raja Tallo Ke-13, Raja Tallo ke -15 yang pernah menjadi Raja Gowa ke-30 (1811-1825).

Secara historis raja yang pertama kali memeluk agama Islam di kerajaan Gowa-Tallo adalah Raja Tallo kerajaan Gowa yang bernama I Malingkaan Daeng Manyonri Karaeng Katangka pada tanggal 22 September 1605 bertepatan pada malam jumaat  9 jumadil awal 1014, dengan gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam (Patunru, 1967;19). Setelah itu disusul oleh raja Gowa ke-14, I Mangerangi Daeng Manrabia, dengan gelar Sultan Alauddin. Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa hampir memeluk agam Islam yang ditandai dengan upacara sembahyang jumat bersama yang dipertama kali dilaksanakan di Mesjid Tallo pada tanggal 9 November 1607.

Dalam waktu yang bersamaan  di Bandar Makassar, pedagang-pedagang Melayu dan orang-orang Makassar sudah memeluk agama Islam di Benteng Somba Opu dengan melaksanakan sembahyang jumat Masjid Mangalekana (Mattulada 1976:25)


9. Masjid Babul Firdaus

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Masjid Babul Firdaus [sumber]

Masjid Babul Firdaus adalah sebuah tempat peribadatan umat Islam yang terletak di Jalan Kumala, Kelurahan Jongaya, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Masjid Babul Firdaus merupakan salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan yang dibangun pada tahun 1893 Masehi, tepatnya di hari Jumat. 

Masjid Babul Firdaus yang artinya pintu surga Firdaus awalnya bernama Masjid Jongaya karena masuk wilayah Kabupaten Gowa. Masjid tersebut dibangun oleh Raja Gowa ke-34, Imakkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang Sultan Husain Tumenanga ri Bundu’na pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Immakkulawa Daeng Serang masih keturunan dari Sultan Hasanuddin.

Masjid Babul Firdaus adalah masjid ketiga yang dibangun oleh Kerajaan Gowa, setelah Masjid Katangka dan Masjid Taeng di Gowa dan Palopo. Bentuk semua masjid ini sama karena yang membangunnya masih keturunan Raja Gowa. "Masjid dibangun di tempat ini karena di sini pusat Kerajaan Gowa berpindah dari Katangka ke Jongaya.

Lantaran menjadi pusat kerajaan, Masjid Babul Firdaus ini adalah tempat pertemuan raja-raja untuk mengatur strategi pada masa penjajahan Belanda sekaligus menjadi tempat memperdalam ilmu agama. Seiring waktu, bangunan masjid ini mengalami perluasan. Dari luas yang semula 100 meter persegi sekarang menjadi 750 meter persegi.

Masjid Babul Firdaus juga dipugar dan diperluas oleh putra Sultan Husain, Andi Mappanyukki Datu Suppa Sultan Ibrahim Mangkau ri Bone pada tahun 1952. Jumlah jemaah yang kian bertambah membuat masjid tersebut kembali diperluas pada 1977 di masa kepengurusan Haji Mohammad Djawad Abdullah Daeng Salle, dan direnovasi di tahun 2008.


10. Masjid Gantarang Lalang Bata

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Masjid Gantarang Lalang Bata [sumber]

Masjid Tua Gantarang atau Masjid Awaluddin adalah sebuah tempat peribadatan Agama Islam yang berada di Dusun Gantarang Lalang Bata, Desa Bonto Marannu, Kecamatan Bontomanai, Kepulauan Selayar, Sulsel. Masjid ini dipercaya warga setempat sebagai pusat penyebaran Islam pertama.

Masjid tersebut dibangun setelah Datuk Ri Bandang mengajak raja setempat bernama Pangali memeluk Islam. Datuk Ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di wilayah timur nusantara.

Khatib Abdul Makmur atau Datuk Ri Bandang selaku penyebar Islam di Sulawesi Selatan singgah ke Pulau Selayar dalam perjalanannya pada awal abad ke-17.

Masjid yang terletak di dusun terpencil tersebut memiliki 17 tiang, 17 melambangkan jumlah rakaat dalam salat. Konon, Masjid Awaluddin ini tiang utamanya terbuat dari kayu pohon cabai raksasa. Sebagian besar bangunan telah diperbaharui, kecuali bagian atapnya.

Untuk mencapai masjid tersebut cukup menguras tenaga, karena pengunjung harus melewati jalan berliku dan berjurang. Dusun Gantarang Lalang Bata tidak bisa dijangkau dengan kendaraan. Pengunjung harus melalui anak tangga. Hanya ada 36 rumah di dusun tersebut. [sumber : makassar.tribunnews.com]


11. Masjid Palopo

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Masjid Tua Palopo [sumber]

Masjid Tua Palopo merupakan masjid peninggalan Kerajaan Luwu yang berlokasi di kota Palopo, Sulawesi Selatan. Masjid ini didirikan oleh Raja Luwu yang bernama Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe pada tahun 1604 M. Masjid yang memiliki luas 15 m² ini diberi nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Tua Palopo ini.

Denah masjid tua Palopo berbentuk bujur sangkar. Ukurannya yaitu 15 × 15 m, sedang ketebalan dinding mencapai 90,2 cm dan tinggi dinding 3 m dari permukaan tanah. Ukuran ketinggian seluruhnya dari permukaan tanah sampai ke puncak atap mencapai 10,80 m.

Arsitektur Masjid Tua Palopo ini sangat unik. Ada empat unsur penting yang bersebati (melekat) dalam konstruksi masjid tua ini, yaitu unsur lokal Bugis, Jawa, Hindu dan Islam.

Unsur lokal Bugis terlihat pada struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang terdiri dari tiga susun yang mengikuti konsep rumah panggung. Uunsur Jawa terlihat pada bagian atap, yang dipengaruhi oleh atap rumah joglo Jawa yang berbentuk piramida bertumpuk tiga atau sering disebut tajug. Sedangkan atap piramida paling atas disangga oleh kolom (pilar) tunggal dari kayu cinna gori (Cinaduri) yang berdiameter 90 centimeter. Pada puncak atap masjid, terdapat hiasan dari keramik berwarna biru yang diperkirakan berasal dari Tiongkok.


12. Masjid Tua Al-Hilal Katangka

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)

Masjid Al-Hilal atau lebih dikenal dengan nama Masjid Katangka adalah salah satu masjid tertua di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Dinamakan Masjid Katangka karena berlokasi di kelurahan Katangka, kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Selain itu, masjid ini disebut Katangka, karena bahan baku dasar dari masjid tersebut diyakini diambil dari pohon Katangka.

Sebuah prasasti menginformasikan bahwa masjid ini dibangun pada tahun 1603, tetapi beberapa sejarawan meragukan informasi ini. Pendapat lain mengatakan bahwa masjid dibangun pada awal abad ke-18. Masjid Al Hilal Katangka dulunya merupakan masjid Kerajaan Gowa. Letak masjid berada di sebelah utara kompleks makam Sultan Hasanuddin. Lokasi makam yang diyakini sebagai tempat berdirinya Istana Tamalate, istana raja Gowa ketika itu. Sebuah jalan yang dikenal sebagai Batu Palantikang, merupakan jalan yang sering dilintasi raja dan keluarga menuju masjid.

Masjid Katangka didirikan di atas lahan sekitar 150 meter persegi. Masjid ini memiliki ciri khas seperi memiliki satu kubah, atap dua lapis menyerupai bangunan joglo. Bangunan ini juga memiliki empat tiang penyangga, yang berbentuk bulat dan memiliki ukuran yang besar dibagian tengah. Jendela masjid ini berjumlah enam serta memiliki lima pintu. Atap dua lapis berarti dua kalimat syahadat, empat tiang berarti empat sahabat nabi, jendela bermakna rukun iman ada enam dan lima pintu bermakna rukun Islam.

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)

Bagian kubah dipengaruhi oleh arsitektur Jawa dan lokal, tiang dipengaruhi oleh budaya Eropa, sedangkan bagian mimbar sangat kental dengan pengaruh kebudayaan China, ini terlihat pada atap mimbar yang mirip bentuk atap klenteng. Di sekitar mimbar juga masih terpasang keramik dari Cina yang konon dibawa oleh salah satu arsiteknya yang berasal dari sana.

Ciri khas lainnya, dan ini terjadi di hampir seluruh bangunan kuno adalah pada bagian dinding yang terbuat dari batu bata itu cukup tebal, yakni mencapai 120 sentimeter (cm). Penyebab utamanya karena masjid ini juga pernah dijadikan sebagai benteng pertahanan saat Raja Gowa melawan penjajah.

Masjid ini telah mengalami enam kali renovasi. Pertama pada tahun 1816, atau pada masa Raja Gowa XXX atas nama Sultan Abd Rauf. Kemudian pada 1884, yang dilakukan oleh Raja Gowa XXXII, Sultan Abd Kadir. Berturut-turut kemudian pada tahun 1963 oleh Gubernur Sulsel, tahun 1971 oleh Kanwil Dikbud Sulsel, tahun 1980, Swaka Sejarah dan Purbakala sulsel dan terakhir tahun 2007. Pada renovasi terakhir, itu dilakukan atas swadaya dari pengurus masjid dan bantuan dari masyarakat.


13. Museum Balla Lompoa

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Museum Balla Lompoa, Gowa-Sulsel. [Sumber : Wikipedia]

Museum Balla Lompoa adalah sebuah museum yang terletak di tengah-tengah kota Sungguminasa. Museum ini didirikan pada tanggal 11 Desember 1973. Balla Lompoa dapat diartikan rumah besar atau istana bagi raja-raja Gowa.

Alamat Museum Balla Lompoa di Jalan Sultan Hasanuddin No. 44 Sangguminasa Kecamatan Samba Opu. Kabupaten Gowa. Provinsi Sulawesi Selatan. Jarak tempuh Museum Balla Lompoa dari Bandara Hasanuddin ke museum berjarak sekitar 1 km. Dari Terminal Bis Mallengkeri ke museum 3 km, sedangkan dari Pelabuhan Laut Soekarno Hatta ke museum berjarak sekitar 23 km.

Museum ini dibangun di areal seluas 7663 m2 tahun 1936 di masa Raja Gowa XXV. Luas bangunan kayu 1144 m2. Bangunan ini terbuat dari bahan kayu jati bercorak arsitektur tradisional. Ada juga terdapat teknik modern di beberapa bagian tertentu, misalnya di persambungan kayu menggunakan baut, bahkan bagian dapurnya menggunakan bahan batu bata.

Di Musieum ini pengunjung dapat melihat:

  • Salokoa, mahkota yang terbuat dari bahan emas murni, beratnya 1766 gram. Salokoa adalah wujud kebesaran Raja Gowa yang dipakai pada upacara pelantikan atau penobatan Raja.
  • Ponto janga-jangaya, gelang tangan dari bahan emas berbentuk naga yang melingkar dengan dua kepala yang mulutnya terbuka. Gelang ini merupakan tanda kebesaran Raja Gowa yang digunakan pada upacara pelantikan/penobatan Raja Gowa.
  • Kotara, yaitu rantai emas panjang seberat 270 gram. Merupakan tanda kebesaran Raja yang bernama I Tani Samang (yang tidak ada namanya)

Waktu kunjungan yang disediakan pihak museum dimulai hari Senin sampai dengan Kamis pukul 08.00 - 13.00 WITA. Hari Jumat dibuka pukul 08:00 - 11.00 WITA sedangkan hari Sabtu pukul 08.00 - 12.00 WITA. sedangkan untuk tiket Masuk Museum tidak ditentukan bayarannya atau sukarela saja.

Museum Balla Lompoa juga dilengkapi dengan fasilitas seperti Ruang Administrasi, Gudang, Ruang Konservasi , Ruang Auditorium, Ruang Pameran Tetap, Ruang Admnistrasi, Ruang Konservasi dan Preparasi. [Sumber]


14. Museum Kota Makassar

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Museum Kota Makassar, [sumber: www.lintas.me]

Museum Kota Makassar adalah bangunan yang beralamat di Jl. Balai kota No. 11 A. 90111 Kelurahan Baru, Kecamatan Ujung Pandang, Kabupaten Makassar. Bagunan berarsitektur asli kolonial belanda ini dibangun pada tahun 1916, dinding-dindingnya yang tebal, jendela-jendela kayu yang lebar dan beberapa ornamen gantung, seluruhnya masih utuh terjaga.

Dahulu dikenal dengan nama Raadhus van de Gemeente atau kantor walikota, karena memang meupakan kantor walikota pertama pada masa itu, yait walikota J.E. Dan Brink. Kini kantor walikota itu telah berubah fungsi menjadi museum kota makassar yang dibuka secara resmi oleh walikota makassar H. B Amiruddin Maula pada juni 2000.

Museum itu menyimpan benda koleksi bersejarah yang merekam perjalanan kota makassar dari zaman ke zaman. Beberapa koleksi museum kota Makassar yaitu adalah peta bumi yang dibuat untuk kelancaran misi perdagangan dan politik di Indonesia pada masa silam. Koleksi lainnya adalah relief potret Ratu Wilhelmina dan Ratu Yuliana, foto reproduksi naskah, foto-foto peristiwa serta bangunan bersejarah, peralatan sehari-hari dan mata uang.

Jam layanan bagi pengunjung di hari Selasa-Kamis pukul 8 pagi sampai pukul 2 siang (WITA), untuk hari Jumat pukul 8-pukul 11 siang, hari Sabtu pukul 9-2 siang, dan Minggu pukul 9- 14.00. Sementara hari Senin dan libur nasional meseum tutup.

Untuk tranportasi ke meseum kota Makassar dapat di akses dari Bandara Hasanuddin dengan jarak tempuh 20 km. sementara dari Pelabuhan Laut Soekarno Hatta ke museum 1 km. Dan dari Terminal Bus Daya Makassar ke museum 3.


15. Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Monumen Mandala

Monumen Mandala adalah suatu tugu yang di bangun di Tanah Makassar tepatnya di Jl. Jenderal Sudirman. Lokasinya hanya 200 meter sebelah selatan titik nol kilometer Kota Makassar, Lapangan Karebosi. Bersebelahan dengan Gedung Balai Prajurit Jenderal M Yusuf.

Monumen Mandala dibangun pada tahun 1994 dan selesai pada tahun 1996. Pembangunan dengan tujuan untuk mengenang jasa pahlawan dalam pembebaskan Irian Barat dari tangan para penjajah sekaligus hadiah atas jasa mantan Presiden Indonesia yang ke-2 yaitu Soeharto.

Mantan presiden kedua Indonesia itu juga merupakan Panglima Komando Mandala yang berperan penting dalam mengatur strategi untuk membebaskan Irian Barat.

Monumen Mandala merupakan menara yang menjulang setinggi 75 meter di pusat Kota Makassar. Terdapat empat Lantai, memiliki desain berbentuk segi tiga sama sisi menyimbolkan Tiga Komando Rakyat (Trikora).

Pada bagian bawah monumen, terdapat relief lidah api yang menjadi simbol semangat dari Trikora. Sementara relief yang sama di bagian atas melambangkan semangat yang tidak pernah padam.

Selain itu ada 27 patung batang bambu runcing sebagai simbol instrumen perjuangan fisik rakyat saat itu. Di belakang monumen mandala terdapat panggung yang biasa digunakan untuk pentas musik. Lapangan Monumen Mandala juga sering digunakan untuk kegiatan-kegiatan diantaranya pameran.

Alamat: Jl. Jend. Sudirman, Kota Makassar. Jam buka: 11.00–18.00, berlokasi di Jl Jenderal Sudirman salah satu yang dijadikan tempat wisata bersejarah. Lokasinya hanya 200 meter sebelah selatan titik nol kilometer Kota Makassar, Lapangan Karebosi. Bersebelahan dengan Gedung Balai Prajurit Jenderal M Yusuf.


16. Monumen Korban 40.000 Jiwa

Bangunan Peninggalan Sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel)
Monumen Korban 40.000 Jiwa (Foto.Dok. Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah / Kusni Sulang, 2014)

Monumen Korban 40 Ribu Jiwa adalah sebuah bangunan yang berada di Jalan Korban 40000 Jiwa, Wala-Walaya, La'latang, Kec. Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Jam buka: 06.00–17.30 Wita.

Monumen Korban 40.000 Jiwa berdiri sebagai pengingat peristiwa sejarah tahun 1946-1947. Konon 40.000 orang rakyat sipil di Sulawesi Selatan dibantai dalam sebuah operasi penumpasan pemberontak oleh pasukan khusus Belanda (Depot Speciale Troepen) yang dipimpin oleh Raymond Pierre Paul Westerling.

Di tempat tersebut terdapat patung-patung yang menggambarkan peristiwa yang terjadi pada bulan Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).


17. Rumah Jabatan (Rujab) Gubernur

Rumah Jabatan (Rujab) Gubernur Sulsel (sumber: sulselprov.go.id)

Rumah Jabatan (Rujab) Gubernur adalah sebuah bangunan yang berada di Jalan Sungai Tangka No.31, Sawerigading, Ujung Pandang, Sawerigading, Kec. Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan

Dalam Bahasa Belanda rujab ini disebut Gouverneur Woning. Pasca pembangunannya, hanya satu Gubernur Belanda yang pernah menempatinya, yakni Haze Winkelmen. Gouverneur Woning selanjutya tetap difungsikan sebagai rujab Gubernur Sulsel. Setidaknya sudah dua kali Gouverneur Woning ini dipugar, yakni pada 1960 dan 1974 serta beberapa perbaikan kecil setelahnya.


Incoming search: 3 peninggalan kerajaan islam di sulawesi selatan, tuliskan 5 peninggalan sejarah yang terdapat di daerah provinsi sulawesi selatan, benteng fort rotterdam, peninggalan kerajaan makassar, sejarah benteng somba opu, peninggalan hindu-budha di sulawesi selatan, peninggalan kerajaan sulawesi, ,gambar kerajaan gowa